Beberapa Alasan Mengapa Kita Tidak Perlu Punya Pulse Oximeter Meski Dianjurkan WHO Deteksi Corona
Pulse Oximeter alat pendeteksi baru Covid-19 yang dianjurkan WHO, tapi ampukah? ini alasan kenapa kita tak butuh
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Waode Nurmin
Sementara angka di bawah 90 persen dinilai terlalu rendah.
Beberapa dokter melaporkan, pasien Covid-19 masuk ke rumah sakit dengan kadar oksigen di 50 persen atau lebih rendah.
Sementara denyut jantung istirahat normal berkisar antara 60 hingga 100 BPM.
Pada umumnya, lebih rendah lebih baik, karena denyut jantung rendah biasanya merupakan indikasi sistem kardiovaskular yang kuat.
Di beberapa negara, pulse oximeter banyak dicari karena dianggap bisa membantu mendeteksi virus corona.
Sebab, level oksigen dalam tubuh bisa juga diakibatkan oleh penyakit paru-paru seperti Covid-19.
Namun, apakah kita benar-benar memerlukannya?
Spesialis Penyakit Paru dari Wexner Medical Center, Ohio State University, Jonathan Parsons, MD, menerangkan mengapa kita tidak terlalu memerlukan perangkat tersebut.
Menurut dia, ada kalanya pemantauan di rumah diperlukan oleh pasien, terutama pasien yang memiliki penyakit paru-paru kronis atau bergantung pada kadar oksigen.
Namun, pengecekan menggunakan Pulse Oximeter adalah bagian dari perawatan mereka yang sebagian besar perlu diawasi oleh dokter.
Pulse oximeter mungkin bisa membantu mengukur kesehatan seseorang dan angkanya dapat dipahami.
"Namun perangkat ini saja tidak dapat menyampaikan informasi secara lengkap," ungkap dia.
Beberapa alasan lain mengapa kita tidak perlu memiliki pulse oximeter, antara lain:
1. Angka Pulse Oximeter tidak selalu berkorelasi dengan tingkat penyakit Parsons mengungkapkan, ada orang-orang yang tetap merasa tidak enak badan, meskipun tingkat oksimetri nadinya sangat baik.
Di rumah sakit, Pulse Oximeter bukan satu-satunya perangkat kesehatan yang digunakan untuk mengukur kesehatan pasien.