Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hari Sumpah Pemuda

Demo Tolak Omnibus Law di Hari Sumpah Pemuda, Ini Pernyataan Sikap Aliansi Mahasiswa Unhas

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada hari ini, Aliansi Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) kembali turun ke jalan.

Penulis: Rudi Salam | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM/RUDI SALAM
Aliansi Mahasiswa Unhas gelar unjuk rasa tolak Omnibus Law di Pintu 1 Unhas, Jl Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar, Rabu (28102020). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada hari ini, Rabu (28/10/2020), Aliansi Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) kembali turun ke jalan.

Aliansi Mahasiswa Unhas gelar unjuk rasa di Pintu 1 Unhas, Jl Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar, sekitar pukul 16.40 Wita.

Tuntutan massa aksi masih sama, yakni menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja.

Dalam menyampaikan orasinya, massa aksi menutup separuh Jl Perintis Kemerdekaan dan membakar ban.

Akibatnya, arus lalu lintas di Jl Perintis Kemerdekaan sempat mengalami kemacetan.

Humas Aliansi Mahasiswa Unhas, Afifah mengatakan bahwa tuntutan yang mereka bawa yakni masih tentang Omnibus Law.

"Aksi yang kami lakukan yakni terkait tuntutan yang konsisten kami kawal yakni cabut Omnibus Law dan juga turunkan Jokowi-Amin," katanya saat ditemui disela-sela aksi.

Dirinya mengatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal isu Omnibus Law.

"Kami akan tetap terus mengawal aksi keberlanjutannya itu, kami akan konsolidasikan lagi pengawalan kami pencabutan Omnibus Law," tuturnya.

Berikut pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Unhas yang dibagikan melalui selebaran:

Sejak tanggal 13 Februari 2020 rezim Jokowi-Amin secara resmi mengajukan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja kepada DPR-RI dan telah disahkan pada sidang paripurna DPR-RI hari senin, 5 Oktober 2020.

Kebijakan ini diklaim oleh pemerintah dapat meningkatkan investasi dengan pendekatan penyederhanaan perizinan sekaligus mengharmonisasikan aturan-aturan yang menghambat berjalannya investasi padahal dengan metode seperti ini berpotensi mengakibatkan ketidakpastian hukum dan sebaliknya malah akan melahirkan ratusan peraturan turunan.

Selain itu, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja menyebabkan penggusuran, penyingkiran hak masyarakat adat, perusakan lingkungan, krisis pangan, penyingkiran hak-hak pekerja (perbudakan modern), liberalisasi sektor publik menjadi hal akan sering kita jumpai di kemudian hari.

Gelombang penolakan Omnibus Law Cipta Kerja sudah terjadi sejak awal perancangan yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat seperti akademisi, tokoh agama, aktivis, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat dan pelajar mahasiswa mengisyaratkan bahwa Undang-Undang ini sangat tidak berpihak kepada rakyat dan sebaliknya hanya untuk mengakomodir kepentingan segelintir orang yakni, para oligark.

Pendekatan represifitas dan kriminalisasi yang diambil oleh pemerintah untuk membungkam penolakan terhadap aturan ini menandakan bahwa rezim Jokowi-Amin telah menghamba kepada kapital dan menegasikan hak-hak rakyat bahkan telah menghancurkan demokrasi di Indonesia.

Jokowi-Amin dan DPR telah memperlihatkan watak neoliberal dan otoritariannya dengan regulasi-regulasi yang sejauh ini hadir seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU KPK, UU MK, RKUHP.

Sebaliknya, mereka tidak punya political will untuk mengesahkan berbagai aturan yang sangat dibutuhkan rakyat seperti RUU-PKS, RUU-PRT, RUU Masyarakat Adat.

Selain itu, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah jadi perhatian, penjajahan di tanah Papua terus berlanjut, semangat reforma agraria dalam UUPA 1960 dihilangkan, kriminalisasi rakyat (petani, nelayan, aktivis, dan masyarakat adat) semakin massif, dan yang teranyar penanganan Covid-19 yang serampangan menyebabkan krisis multisektor.

Melihat berbagai bentuk dan masifnya pengkhianatan negara terhadap rakyat, menaikkan ekskalasi gerakan dengan menurukan rezim Jokowi-Amin beserta seluruh kabinetnya dan jajaran DPR menjadi sesuatu yang harus dilakukan.

Namun perlu ditekankan bahwa solusi yang dihadirkan bukan dengan menggantikannya dengan sosok lain seperti yang diinginkan partai politik borjuis dan sejenisnya tapi dengan menghadirkan politik alternatif, demokrasi partisipatoris yang mengembalikan kedaulatan kembalt ke tangan rakyat. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved