Sejarah Hari Ini: Tragedi Bintaro 1987, Kronologi Hingga Nasib Masinis KA 225
Tabrakan dua kereta api jurusan Tanah Abang - Rangkas Bitung dan sebaliknya hari Senin pukul 07.05 WIB di Pondok Betung
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Anita Kusuma Wardana
TRIBUNTIMURWIKI.COM- Dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, sempat terjadi kecelekaan yang menggemparkan.
Peristiwa tersebut menghebohkan publik dan dikenang sebagai Tragedi Bintaro.
Bagi sebahagian orang pasti sudah lupa dengan kisahnya, namun untuk segelintirnya lagi peristiwa ini menjadi catatan kelam Indonesia.
Bagaimana tidak, peristiwa ini harus mengorbankan banyak jiwa.
Lantas seperti apa kejadiannya?
Dilansir dari Tribun Manado, Tragedi Bintaro terjadi pada Senin pagi, 19 Oktober 1987.
Pagi itu, warga Kampung Betung RW 09 Kelurahan Bintaro, Jakarta Selatan dikejutkan dengan tabrakan dua rangkaian kereta api.
Dokumentasi pemberitaan Harian Kompas, 20 Oktober 1987 menyebutkan, saat itu, kereta api Patas No 220 dengan rangkaian tujuh gerbong dari arah Tanah Abang menuju ke arah Merak bertabrakan dengan KA No 225 dari Rangkasbitung ke Tanah Abang.
Masing-masing lokomotif menarik tujuh rangkaian gerbong.
Sebelum tragedi terjadi, kedua masinis tidak mengetahui jika masing-masing kereta api melintas di rel yang sama.
KA 225 meluncur cepat di rel lurus yang melintas kompleks Perumahan Bintaro Jaya, sementara KA 220 mulai menggilas rel perlintasan Pasar Ulujami.
Tabrakan pun tak terelakkan.
Tabrakan dua kereta api jurusan Tanah Abang - Rangkas Bitung dan sebaliknya hari Senin pukul 07.05 WIB di Pondok Betung merupakan kecelakaan kereta api terbesar di Indonesia dari segi korban jiwa.
Sampai pukul 22.15 WIB sudah 101 korban meninggal dunia dan ratusan yang cedera.
Dari kiri, para petugas dan rakyat membantu mengeluarkan korban dari dalam gerbong penumpang yang ditembus loko.
Salah satu penumpang yang selamat dikeluarkan dari dalam gerbong untuk mendapatkan perawatan selanjutnya.
Benturan yang keras menyebabkan kursi-kursi di gerbong penumpang bergeser ke depan.
Kedua lokomotif setiap kereta api tetap berdiri di rel.
Kejadian ini mengakibatkan seluruh badan lokomotif BB-303 16 "masuk" dan "ditelan" oleh gerbong KB3-65 601.
Bahkan, separuh badan lokomotif BB-303 16 tertelan gerbong pertama yang ditariknya.
Gerbong KB3-65 61 merupakan gerbong pertama yang ditarik oleh lokomotif BB-303 16.
Akibat dorongan yang diterima saat tabrakan, gerbong ini meluncur bebas dan menabrak sekaligus "menelan" lokomotif di depannya.
Saat kejadian, gerbong sepanjang 21 meter tersebut dijejali ratusan penumpang.
Analisis kecelakaan
Jalur kereta api antara pasar Palmerah dan Rangkasbitung saat itu, setiap harinya terhitung sangat padat.
Kereta pertama dari Rangkasbitung melalui Sudimara menuju Palmerah berangkat pukul 06.11.
Sementara, kereta api pertama dari Tanah Abang ke Rangkasbitung berangkat pukul 05.00 di jalur yang sama.
Peristiwa kecelakaan terjadi saat ada kesalahpahaman dari Kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 yang langsung berangkat menuju Sudimara tanpa mengecek kondisi stasiun.
Hal ini membuat tiga jalur yang berada di Stasiun Sudimara penuh akibat kedatangan KA 225.
Namun, komunikasi yang buruk di KA Sudimara, membuat KA 220 yang saat itu berada di Kebayoran Baru juga ikut diberangkatkan, KA 220 kala itu mengarah ke Sudimara.
Kondisi itu memaksa juru langsir di Sudimara segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju ke jalur tiga.
Akan tetapi, ramainya jalur kereta, membuat masinis tidak bisa melihat semboyan dari juru langsir.
Bahkan, KA 225 yang pada awalnya harus berpindah rel tiba-tiba berangkat.
Upaya yang dilakukan juru langsir untuk menghentikan KA 225 sia-sia.
Akhirnya, kereta api yang menarik tujuh gerbong itu harus berhadapan dengan KAA 220 yang meluncur dengan kecepatan 20 kilometer per jam.
Adapun saat itu KA 225V berjalan dengan kecepatan 30 kilometer per jam.
Tak hanya kelalaian, banyaknya korban yang jatuh saat itu juga disebabkan kondisi gerbong kereta yang dipenuhi penumpang.
KA 225 memang dipenuhi penumpang di luar kapasitasnya.
Pada setiap gerbong, tersedia 64 kursi rotan dan saat itu dipenuhi oleh para penumpang.
Namun, kapasitas yang disediakan tak cukup untuk menampung banyaknya orang yang ingin menempuh perjalanan yang sama.
Akhirnya, atap gerbong dan ruang kosong di kiri-kanan lokomotif pun juga dijejali penumpang sebagai tempat tangkringan sementara.
Lokasi kecelakaan yang berada di tikungan juga membuat kedua masinis tidak dapat saling melihat.
Ketika menyadari ada kereta lain di jalur yang sama, sudah terlambat bagi masinis untuk menghentikan laju kereta karena jarak antara keduanya sudah terlalu dekat.
Selain itu, pihak petugas palang pintu kereta juga tak mengetahui simbol genta yang menyebabkan kedua kereta itu berhadapan di rel yang sama.
Nasib Masinis
33 tahun sudah berlalu, pengakuan Masinis KA 225 Ketika Tragedi Bintaro 1987.
Tragedi Bintaro masih sangat membekas dalam ingatan setiap orang.
Bagaimana tidak, pada hari itu, 19 Oktober 1987, terjadi tabrakan kereta api yang begitu keras, disusul dengan jeritan bersahutan serta darah berceceran.
Tragedi Bintaro merupakan kecelakaan kereta api terburuk yang memakan ratusan korban jiwa.
Musibah ini melibatkan dua kereta api yang bertabrakan, yakni KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakartakota dan KA 220 jurusan Tanah Abang-Merak.
Saat itu, masinis KA 225, Slamet Suradio berhasil selamat dari tragedi memilukan tersebut.
Slamet Suradio saat itu dituding memberangkatkan sendiri kereta yang dioperasikannya.
Padahal menurutnya, ia hanya mengikuti instruksi dari PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api).
"Yang seharusnya saya di Sudimara bersilangan dengan KA 220 dibatalkan oleh PPKA yang sedang dinas," kata Slamet dikutip Grid.ID dari YouTube Kisah Tanah Jawa (11/10/2019).
"Berarti saya nunggu di jalur 3. Karena belum ada perintah berangkat, saya tetap menunggu," lanjutnya.
"Jadi kalau ada orang mengatakan berangkat sendiri itu bohong, apa untungnya saya memberangkatkan kereta sendiri," ungkap lelaki renta itu.
Setelah menunggu beberapa saat, Slamet pun akhirnya memberangkatkan kereta sesuai instruksi.
Beberapa saat perjalanan, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan karena tidak ada sinyal apapun yang Slamet terima.
Namun alangkah terkejutnya ia ketika dari arah berlawanan, tampak KA 220 dari stasiun Kebayoran.
Padahal Slamet sudah mengantongi PTP (Pemberitahuan Tentang Persilangan) yang seharusnya situasi sudah aman.
Tanpa pikir panjang, Slamet langsung menarik rem bahaya, namun usahanya sia-sia karena jarak kedua kereta sudah terlalu dekat.
"Saya terus narik rem bahaya, ternyata gagal, tidak bisa berhenti, tetep terjadi tabrakan," papar Slamet.
Akibat tabrakan itu, Slamet terpental di dalam lokomotif dan mukanya terkena remukan kaca.
Dalam keadaan setengah sadar, Slamet pun berusaha menyelamatkan dirinya.
"Kaki saya ngesot-ngesot tidak bisa jalan, akhirnya saya merambat melalui jendela," tutur Slamet.
Ia kemudian menjatuhkan diri ke tanah.
Dalam kondisi terluka parah, Slamet kemudian dibawa oleh seorang perempuan ke rumah sakit dengan mobilnya.
Meski wajahnya bersimbah darah, Slamet masih mengantongi PTP di sakunya.
PTP tersebut jadi satu-satunya bukti Slamet bahwa dirinya tidak bersalah.
Bercak darah di PTP itu membuat hakim percaya bahwa Slamet tidak loncat dari lokomotifnya.
"Jadi hakim percayanya saya tidak loncat itu karena ada bercak darah," ungkap Slamet.
Ia pun sedih dengan kabar yang berdedar bahwa ia meloncat dari lokomotif sebelum tabrakan untuk menyelamatkan diri.
"Makanya (isu) di internet itu yang buat siapa? Saya bingung itu, sedangkan hakim sendiri mengatakan (saya) nggak loncat," paparnya.
"Ada katanya saya loncat, itu bohong sekali, itu orang fitnah, jelas fitnah!" tandas kakek renta ini.
Penderitaan Slamet tak berhenti sampai di situ.
Ancaman demi ancaman terus didapat oleh Slamet atas kejadian itu.
Ia bahkan hampir diculik saat dirawat di rumah sakit yang kacanya sudah dipecah oleh seseorang.
Slamet akhirnya harus menjalani hukuman penjara selama kurang lebih 3 tahun 3 bulan.
Karena hal itu, istrinya pun meninggalkannya dan minta cerai.
Usai keluar dari penjara, Slamet pun harus menelan kenyataan pahit lantaran istrinya sudah direbut rekan sesama masinis.
Namun Slamet berusaha ikhlas atas keadaan tersebut.
Kini Slamet masih menunggu haknya sebagai pensiunan PT KAI.
Proses hukum yang sempat menjeratnya membuat Slamet tak bisa mendapatkan hak layaknya pegawai yang lain.
"Saya mohon hak saya dikeluarkan, uang pensiun," ungkap Slamet.
"Karena sekalipun saya dipenjara kan bukan karena saya berbuat jahat, kan ini musibah, kecelakaan," lanjutnya.
Demi menyambung hidup, Slamet kini bekerja sebagai pedagang asongan.
Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul Pengakuan Masinis KA 225 Ketika Tragedi Bintaro 1987: Difitnah 'Itu Bohong Sekali', Ini Faktanya