Omnibus Law
Chief Economist Bank CIMB Niaga: Keberhasilan Omnibus Law Ditentukan Aturan Perpresnya
Aturan pelaksanaan yang dibuat tergesa-gesa dan tidak cermat berpotensi menciptakan masalah baru, atau bahkan berpotensi mengulangi masalah.
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dalam tataran restrukturisasi pinjaman (berdasarkan POJK No. 11/2020), per 7 September 2020, realisasi restrukturisasi pinjaman yang dilakukan oleh perbankan telah mencapai hampir Rp 890 triliun (atau setara 16% dari total loan outstanding).
Realisasi restrukturisasi pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan mencapai hampir Rp 170 triliun.
Total dari keduanya mencapai hampir Rp 1.060 triliun.
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk, Adrian Panggabean, Rabu (14/10/2020) mengungkapan ada tiga catatan terait hal ini.
Pertama, dari sekitar 7+ juta debitur yang pinjamannya telah direlaksasi, sekitar 6 juta di antaranya berasal dari segmen UKM.
Jumlah 6+ juta debitur ini adalah sekitar 30% dari total usaha (alias tidak memiliki badan usaha) dan perusahaan (memiliki badan hukum) yang berskala UKM menurut Sensus Ekonomi terbitan Badan Pusat Statistik.
Kedua, melalui observasi lapangan yang Adrian lakukan, UKM yang pinjamannya terpaksa direstrukturisasi tersebut mengidap minimum dua dari lima kondisi (miminjam istilah Covid-19) “co-morbid”.
Yaitu manajemen cashflow yang kurang baik, customer base yang sempit, product line yang sempit, model bisnis yang rigid/ kurang fleksibel, dan ketiadaan business contingency plan (BCP).
Terakhir, dua catatan diatas memberi sinyal bahwa dukungan finansial yang difokuskan pada segmen UKM perlu secara cermat dan sistematis.
"Dikombinasikan dengan dukungan teknis untuk membantu mengeliminir kelima kondisi “co-morbid” tersebut diatas, sehingga diharapkan keseluruhan program restrukturisasi bisa berjalan efektif dengan hasil yang berkesinambungan (sustainable recovery)," katanya.
Resesi dan trajektori ekonomi Indonesia, dengan terlebih dahulu membuang faktor musiman (seasonality) dan faktor acak (irregularity) dari data PDB Indonesia dengan menggunakan metode ARIMA-X12, dan kemudian menggunakan hasilnya untuk menghitung pertumbuhan ekonomi antar periode (seasonally-adjusted, quarter-on-quarter growth).
Ia menyimpulkan, Perekonomian Indonesia sebenarnya telah menunjukkan tren penurunan (atau pelemahan momentum) bahkan sejak satu dekade lalu.
Kedua, secara struktural (yaitu data PDB seasonally-adjusted) di 12 dari 16 tahun pengamatan (2005-2020) pertumbuhan PDB antar-kuartal di Q3 selalu lebih rendah dibanding pertumbuhan PDB di Q2.
Hanya di tahun 2009, 2014, dan 2015 terlihat kinerja pertumbuhan kuartal 3 lebih tinggi dibanding kuartal 2.
Tahun 2009 adalah fase terjadinya global financial crisis. Tahun 2014-2015 adalah fase terjadinya kejatuhan harga-harga komoditi dunia termasuk batubara.
Ketiga, dengan mengacu pada definisi akademis terkait “resesi” (yaitu two consecutive negative, seasonally adjusted, quarter-on-quarter real GDP growth), maka Indonesia sebenarnya telah memasuki zona resesi bahkan sejak kuartal 1 2020.
Pertumbuhan antar kuartal (seasonally-adjusted) di kuartal IV 2019 telah mengalami kontraksi sebesar -0,21% qoq, sa. Kontraksi kedua, di kuartal I 2020 sebesar -1,55% qoq.
Sehingga, kontraksi ketiga di kuartal II 2020 (sebesar -4,20% qoq, sa) dapat dipandang sebagai konfirmasi bahwa Indonesia memang telah berada zona resesi sejak semester pertama tahun ini.
Rekalibrasi ulang terhadap model proyeksi ekonomi kami, dengan menggunakan data-rata tradisional dan non-tradisional diatas, menghasilkan proyeksi angka pertumbuhan ekonomi 3Q2020 di -3,3% yoy.
Ini artinya, perekonomian Indonesia sudah akan mengalami kontraksi (secara qoq, sa) selama empat kuartal berturut-turut sejak kuartal IV 2019.
"Proyeksi ekonomi di tahun 2020 dan 2021. Analisis yang kami lakukan terhadap serangkaian Leading Economic Indicators untuk Indonesia (salah satunya disediakan oleh CEIC) memperlihatkan bahwa lemahnya momentum ekonomi Indonesia mungkin akan berlanjut sampai kuartal I 2021," katanya.
Adrian memperkirakan kontraksi ekonomi akan berlanjut di 4Q2020, sebesar -2,3% yoy. Kemudian, pertumbuhan ekonomi di seluruh tahun 2020 dengan demikian akan mencapai -2,0% yoy.
Lalu, bila kontraksi struktural (dalam definisi qoq, sa) berlanjut sampai 1Q2021, maka Indonesia akan berada dalam zona resesi yang bahkan lebih panjang dibanding episode krisis moneter di tahun 1998.
Bergesernya garis trend-growth Indonesia sebagai akibat dari resesi yang berkepanjangan saat ini (dan saya beri label “extended U-shaped recovery”) akan membuat momentum pemulihan ekonomi di tahun 2021 menjadi terbatas (alias partial rebound). Sehingga saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2021 hanya akan mencapai 3,8% yoy.
Omnibus Law Cipta Kerja
Menurut Adrian, UU ini adalah paket reformasi terbesar yang pernah diluncurkan dalam dua dekade terakhir atau sejak krisis moneter 1998.
Dengan dilakukannya simplifikasi terhadap proses (tata alur) perijinan bisnis dan investasi, pemangkasan aturan-aturan yang saling bertabrakan baik antar-kementerian maupun antar-tingkat pemerintahan (pusat-propinsi-kabupaten/kota), dan perubahan dalam keseimbangan tripartit di pasar tenaga kerja, maka sebenarnya terbuka ruang baru yang cukup luas bagi dilakukannya dinamisasi aktivitas ekonomi dalam jangka panjang.
"Dalam pandangan saya, ini adalah perkembangan paling positif yang terjadi di kuartal III 2020. Namun, sebagai praktisi saya harus mengingatkan bahwa elemen terpenting yang akan menentukan tingkat keberhasilan dari reformasi ini bukanlah pada UU tersebut," katanya.
Melainkan pada koherensi dan tertata baiknya keseluruhan aturan pelaksanaan (implementing regulations) dari UU ini mulai dari Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, sampai ke tingkat aturan terbawah (Surat Edaran dan Petunjuk Tekni /Pelaksanaan).
Aturan pelaksanaan yang dibuat tergesa-gesa dan tidak cermat berpotensi menciptakan masalah baru, atau bahkan berpotensi mengulangi masalah yang lama. (*)