Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Demo Tolak Omnibus Law di Makassar

Demo Tolak Omnibus Law, Pengunjuk Rasa Blokade Jl Urip Sumoharjo Makassar

Penolakan Omnibus Law Cipta Kerja masih terus berlangsung di berbagai kota di Indonesia, Kamis (8/10/2020). Termasuk di Makassar

Penulis: Sayyid Zulfadli Saleh Wahab | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM/SAYYID ZULFADHLI SALEH WAHAB
Suasana pengunjuk rasa menutup atau memblokade Jl Urip Sumiharjo Makassar, Kamis (8102020) siang. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Penolakan Omnibus Law Cipta Kerja masih terus berlangsung di berbagai kota di Indonesia, Kamis (8/10/2020).

Salah satunya penolakan Omnibus Law di Kota Makassar.

Pantauan tribun-timur.com, sekira pukul 11.00 Wita, massa aksi mulai memadati gedung DPRD, Jl Urip Sumoharjo.

Pengunjuk rasa itu tergabung dalam Aliansi Front oposisi rakyat dan mahasiswa (Formasi Indonesia), serta Aliansi lainya.

Ribuan massa aksi itu pun menutup atau memblokade fly Over atau Jl Urip Sumiharjo, Makassar.

Massa terlihat membentangkan spanduk bertuliskan penolakan Omnibus Law.

Massa juga menggunakan truk sebagai panggung orasi.

Selain itu, tampak pengunjuk rasa juga membakar ban di depan Kantor DRRD Sulsel.

Orasi pun silih berganti baik dari kalangan Buruh maupun Mahasiswa.

Terlihat, kawat berduri dipasangi di depan gedung DPRD Sulsel.

Terpantau pula sejumlah petugas berjaga-jaga di sekitar gedung DPRD Sulsel. 

Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni dikutip dari Kompas.com:

1. Masifnya kerja kontrak

Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.

Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.

Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Outsourcing pada seluruh jenis pekerjaan

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.

3. Jam lembur yang semakin eksploitatif

Pada pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Menghapus hak istirahat dan cuti

Berdasarkan pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus.

Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.

5. Gubernur tak wajib menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota

Berdasarkan pasal 88C UU, disebutkan gubernur “dapat” menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota.

Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi Gubernur untuk menetapkan UMK.

Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial”, terancam.

Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.

6. Peran Negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi

Sebelumnya, di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.

Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK.

Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.

7. Berkurangnya hak pesangon

Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan; perusahaan tutup; sakit berkepanjangan; dan meninggal dunia.

Sebelumnya berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.

8. Perusahaan makin mudah PHK sepihak

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan, diatur syarat yang cukup ketat.

Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak objektif.

Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan.

Berdasarkan temuan tersebut, FBLP mendesak agar UU Cipta Kerja dibatalkan.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved