Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Manusia Tertua

Usianya Disebut 193 Tahun, Mbah Arjo Menjadi Saksi Perjalanan Panjang Indonesia, Hidup di Tepi Hutan

Sebanyak enam kali menikah itu, ia mengaku dikaruniai 18 anak. Namun, 17 anaknya sudah meninggal dunia dan tinggal satu orang, yakni Ginem yang hidup

Editor: Arif Fuddin Usman
tribunjatim.com
Mbah Arjo dan rumah tinggalnya berwujud gubuk di pinggir hutan 

Mereka melakukan ritual melekan di gubuk mbah Arjo, "Biasanya para tamunya lapor ke desa, bahkan perangkat kami seringkali mengantar tamu-tamunya mbah Arjo. Kalau ada melekan 1 Suro, malah kami yang meminjami genset karena tempat tinggalnya belum terjangkau listrik," tuturnya.

Tak cuma orang biasa, para pejabat dan pengusaha juga datang menemui mbah Arjo. Salah satunya yakni Heri Noegroho, Bupati Blitar dua periode 2005-2015. Mbah Arjo tetap hidup sederhana meski kerap dibanjiri tamu dari kalangan bukan orang biasa.

Heri Noegroho, mengaku mengenal mbah Arjo dengan baik dan ia kagum dengan kesederhanan mbah Arjo.

"Dulu (saat masih jadi bupati), saya memang sering ke sana dengan naik sepeda motor. Selain ada kepentingan tersendiri dengan mbah Arjo, juga sekalian ingin mengenalkan destinasi wisata, yakni candi penemuan mbah Arjo (Candi Wringin Branjang) itu," tuturnya, Minggu (14/1/2018).

Kalau soal usia mbah Arjo, Heri Neogroho mengaku tak tahu pasti, namun ia yakin mbah Arjo sudah berusia 100 tahun lebih. Dari sosok mbah Arjo, Heri mengaku banyak mendapatkan pelajaran hidup.

"Mungkin dengan kondisinya seperti itu, ia jadi awet hidup karena tak berpikiran macam-macam," ujarnya.

Mbah Arjo mengaku telah mengalami peristiwa Gunung Kelud meletus sebanyak enam kali. Namun ia lupa detail tahunnya. Ia hanya mengingat letusan yang paling dashyat tahun 1990. Saat itu dirinya sudah tinggal di lereng gunung tersebut.

Saat Gunung Kelud meletus, ia tak mau dievakuasi dan tetap tinggal di gubuknya bersama anaknya. "Padahal saat itu ketebalan abunya di desa kami saja sampai 1 meter. Namun, ketika mbah Arjo mau dievakuasi, nggak mau.

Malah bilang saya nggak usah dievakuasi karena saya sudah kenal semua dan teman saya di sini banyak. Padahal di gubuknya itu, ia hanya tinggal berdua dengan anaknya. Namun katanya temannya banyak," papar Widodo.

Baru saat terjadi letusan Genung Kelud tahun 2014 lalu, mbah Arjo dan anaknya, dievakuasi paksa meski sempat menolak. Warga khawatir mbah Arjo terkena imbas dari letusan karena jika meluap, kali lahar akan lewat di depan tempat tinggal mbah Arjo.

"Katanya, saya nggak usah dibawa pergi, wong di sini saya sudah ada yang memayungi. Tapi kami nggak tega. Ya saat itu kami ke balai desa," ungkapnya.

Meski mbah Arjo mengaku tak pernah pergi ke mana-mana, namun dia memiliki banyak pengalaman yang berharga. Ia bercerita, saat zaman perjuangan, ia sering bertemu Bung Karno dan Supriadi, pahlawan Pembela Tanah Air (PETA).

Saat itu, ia masih tinggal di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan. Oleh Bung Karno dan Supriadi, ia disuruh menemani melakukan ritual di lerang Gunung Gedang, yang kini menjadi tempat tinggalnya.

"Saat itu saya sudah tua. Pak Karno dan Pak Supriadi masih jejaka. Sehingga kalau memanggil saya mbah," papar mbah Arjo.

Mereka bertemu pada suatu malam, dan disuruh menemani ritual di lereng Gunung Kelud itu.

Sumber: Kompas.com
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved