Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ayahnya Pengacara Ternama, Ternyata Kakek Nadiem Makarim dari Ibu Tak Kalah Hebatnya, Siapa Dia?

Mendikbud Nadiem Makarim adalah anak dari Nono Anwar Makarim dan cucu dari Hamid Algadri .

Editor: Anita Kusuma Wardana
Istimewa
Kakek Nadiem Makarim dari ibunya, Hamid Algadri yang merupakan perintis kemerdekaan Indonesia 

TRIBUN-TIMUR.COM- Ayah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bukanlah orang biasa.

Mendikbud Nadiem Makarim adalah anak dari Nono Anwar Makarim.

Nono Anwar Makarim adalah seorang praktisi hukum asal Indonesia yang juga merupakan penulis buku di berbagai media massa nasional.

Dikutip dari tribunnewswiki.com, pada tahun 1958, Nono Anwar Makarim menjadi pimpinan di sebuah redaksi Harian Kami hingga tahun 1974.

Ayah Mendikbud Nadiem Makarim, Nono Anwar Makarim
Ayah Mendikbud Nadiem Makarim, Nono Anwar Makarim (makarim.com)

Nono Anwar Makarim mendirikan sebuah kantor hukum bernama Makarim & Tiara S.

Tak hanya berkarier di bidang hukum, Nono Anwar Makarim juga aktif di berbagai organisasi sosial.

Nono Anwar Makarim mendirikan beberapa yayasan, antara lain Yayasan Bambu Indonesia, Yayasan Biodiversitas Indonesia, dan Yayasan Aksara.

Tahun 1994, Nono Anwar Makarim juga pernah ditunjuk sebagai anggota delegasi Indonesia ke Putaran Uruguay.

Nono Anwar Makarim juga menjabat sebagai salah satu anggota komite etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Kakek Nadiem Makarim Perintis Kemerdekaan

Tak hanya ayahnya, kakek Nadiem Makarim dari keluarga ibunya juga tak kalah hebatnya.

Ibu Nadiem Makarim, Atika Algadri adalah putri Hamid Algadri yang merupakan seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia.

Dikutip dari Wikipedia, Hamid Algadri menjadi sosok yang berjasa dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, hingga Konferensi Meja Bundar.

Tak hanya itu, Hamid Algadri juga adalah salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.

Hamid Algadri lahir di Pasuruan, 10 Juli 1912 akan tetapi sebenarnya dia dua tahun lebih tua, agar ia dapat dimasukkan ke sekolah dasar Belanda Europesche Lag School oleh ayahnya karena persyaratan umur.

Ayahnya Kapitein der Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan, suatu kedudukan dalam tata kolonial, setara dengan Kapitein der Chinezen (Kepala Masyarakat Tionghoa).

Saat itu pemerintah Hindia Belanda meggolongkan penduduk di Indonesia sebagai orang Eropa (Europeanen), 

Hamid Algadri menurut silsilah ayah berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India.

Ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS, sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat, dan tahun 1936 sebagao mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas.

Selagi mahasiswa dia bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan tahun 1934 oleh AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan 1946-47).

Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi orang Indonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu Tanah Air, satu bangsa, satu bahasa ialah Indonesia.

Kemudian PAI menjelma sebagai parpol dan sebagai Partai Arab Indonesia bersikap Co (koperator atau kerja sama) terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Karier Politik

Kemudian, Hamid Algadri yang bekerja di Sekretariat Perdana Menteri dan sempat menemani rombongan rombongan PM Sjahrir di dalam KLB (Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta akhir 1945.

Dalam KLB ikut pejabat tinggi RI seperti Prof. Djokosutono, Margono Djojohadikusumo, Didi Kartasasmita.

Ia lalu pindah pada Kementerian Luar Negeri, seterusnya sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan sambil sekaligus jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Ketika Sjahrir jadi ketua badan Pekerja KNIP, Hamid dipanggilnya dari Pasuruan dan diberi tugas di Jakarta.

Sebagaimana waktu itu Soedjatmoko, Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo disebut sebagai de jongens van Sjahrir (anak-anak Sjahrir). Hamid Algadri pun termasuk di dalamnya.

Pada masa muda, Hamid tinggal di Jalan Serang 13 Jakarta.

Hamid merupakan penasihat delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati dan Renville sehingga mengetahui informasi intern yang dapat dipakai oleh penulis dalam pekerjaannya sebagai komentator politik.

Setelah pemilu 1955 ia menjadi ketua fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Konstituante yang bersidang di Bandung menyusun konstitusi baru.

Di sana dia menyuarakan sikap politik PSI yaitu tidak menyetujui pembentukan negara Islam di Indonesia dan setelah pembicaraan gagal dalam sidang Konstituante menyatakan setuju kembali ke UUD 1945 sebagai jalan alternatif mengatasi kemelut. Konstituante dibubarkan dan Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 1945.

Bantu Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair

Salah satu kegiatan Hamid ketika menjadi anggota parlemen ialah menjadi Sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair.

Hamid diakui jasanya oleh negara-negara Afrika Utara dan memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia dan Aljazair.

Di dalam negeri dia dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui sebagai Perintis Kemerdekaan. Setelah tiada lagi jadi anggota parlemen, dia aktif di bidang sosial, misalnya menjadi direktur Yayasan Dana Bantuan.

Meskipun bukan Kapitein der Arabieren seperti ayahnya, dia diakui secara tak resmi dalam lingkungan keturunan Arab sebagai "kepala suku". Pendapatnya sering diminta sebagai diterima sebagai pendapat "kepala suku" layaknya, termasuk oleh Presiden Soeharto.

Hamid Algadri pun meninggal dunia pada 25 Januari 1998 karena menderita kerapuhan tulang dan radang paru-paru.

Ia dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.(*)

(tribunnewswiki.com/wikipedia.com/tribun-timur.com)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved