Pilkada Serentak 2020
Pilkada se-Sulsel 'Pindah' ke Jakarta, Pengamat Politik Unhas: Semakin Tidak Sehat
Tak ayal, beberapa bakal calon aktif ke Jakarta untuk meyakinkan diri ke DPP partai yang akan mengusungnya.
Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Surat Rekomendasi beberapa partai politik (parpol) sudah dikeluarkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Namun beberapa partai juga masih menjalin komunikasi dengan bakal calon kepala daerah.
Tak ayal, beberapa bakal calon aktif ke Jakarta untuk meyakinkan diri ke DPP partai yang akan mengusungnya.
Seakan-akan, 'pertarungan' pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Wakil Bupati dan Wakil Bupati pindah ke Jakarta.
Pengamat Politik Universitas Hasanuddin Andi Lukman Irwan menilai, fenomena ini menggambarkan kuatnya pola sentralisasi kekuasaan dan kewenangan yang ada di internal partai politik.
"Semangat sentralisasi kekuasaan yang berlaku dalam pola pengambilan keputusan di internal parpol seperti ini, sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan semangat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan," ujar dosen Fisip Unhas itu.
Menurutnya, parpol sebagai instrumen demokrasi harusnya menjadi institusi yang menjadi rule model bagi praktik demokrasi yang menghargai partisipasi dan kedaulatan institusi yang paling dibawah yang dekat dengan konstituennya.
"Praktik seperti ini semakin tidak sehat ketika kompetisi antar kandidat yang dilakukan oleh elit partai tidak lagi dilakukan dengan cara yang terukur dan rasional sehingga fenomena 'begal partai' semakin tumbuh subur dalam proses persaingan untuk mendapatkan rekomendasi oleh para calon," ujarnya.
Lebih lanjut, Lukman menilai, praktik seperti ini secara tidak langsung memunculkan patologi atau penyakit dalam ruang kontestasi politik di Indonesia.
"Seperti praktik mahar politik karena figur yang ada di daerah pastinya saling berlomba dan berkompetisi dalam mendekati para elite partai di pusat dengan berbagai cara dan pendekatan," ujarnya.
Selain itu, praktik pengambilan keputusan secara sentralisitik seperti ini juga melahirkan banyaknya kader kutu loncat di internal partai politik.
"Kader-kader partai yang akan berkontestasi tidak lagi berupaya untuk tumbuh dan mengakar melalui proses kaderisasi dari tingkat bawah karena untuk menjadi seorang figur yang diusung oleh partai cukup dengan cara instan melakukan komunikasi dan pendekatan ke elite partai di tingkat pusat," jelasnya.
Tak ayal, fenomena ini juga banyak melahirkan situasi dimana tidak maksimalnya gerbong dan mesin partai di tingkat lokal/daerah dalam bekerja untuk memenangkan calon yang diusung oleh partai.
"Karena biasanya figur yang mendapatkan rekomendasi dari tingkat pusat partai bertentangan dan tidak selaras dengan kehendak dan keinginan konstituen partai di tingkat bawah, bahkan situasi seperti ini biasanya berujung pada disharmonisasi di internal partai," ujar Lukman.