Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

LENGKAP Penjelasan Yusril Ihza Mahendra Usai MA Kabulkan Gugatan Sengketa Hasil Pilpres 2019

Penjelasan Ahli Hukum, Yusril Ihza Mahendra Usai MA Kabulkan Gugatan Sengketa Hasil Pilpres 2019

Editor: Ilham Arsyam
tribunnews
Ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra 

TRIBUN-TIMUR.COM - Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 atas gugatan sengketa pilpres yang diajukan Rachmawati Sukarnoputri dan enam orang pemohon lainnya.

Rachmawati Soekarnoputri diputuskan menang melawan KPU di Mahkamah Agung (MA) terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.

Putusan yang diketok oleh ketua majelis Supandi pada 20 Oktober 2019 ini baru dipublikasi pekan ini.

"Menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil/keberatan yang diajukan para pemohon untuk seluruhnya," seperti dikutip dari salinan di situs Direktori Putusan MA, Selasa (7/7/2020).

Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa PKPU tersebut bertentangan dengan Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal itu menjelaskan bahwa pasangan calon (paslon) terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di tiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

MA menilai, berdasarkan sistem perundang-undangan, PKPU telah melebihi aturan UU Pemilu yang lebih tinggi sehingga tidak mencerminkan asas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian.

Dua pasangan capres 2019 diapit Ketua KPU RI.
Dua pasangan capres nomor urut 1 dan nomor urut 2 pada pilpres 2019 yang  tengah diapit Ketua KPU RI. (kompas.com)

Adapun putusan itu lengkap itu berbunyi sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan pengujian hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. RACHMAWATI SOEKARNOPUTRI, 2. ASRIL HAMZAH TANJUNG, 3. DAHLIA, 4. RISTIYANTO, 5. MUHAMMAD SYAMSUL, 6. PUTUT TRIYADI WIBOWO, 6.EKO SANTJOJO, 7. HASBIL MUSTAQIM LUBIS untuk sebagian;

2. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

3. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Menyatakan Permohonan Para Pemohon untuk selebihnya tidak diterima;

5. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;

6. Menghukum Termohon membayar biaya perkara sejumlah Rp 1.000.000,00;

Dinilai janggal

Sementara, pengamat media dan politik, Hersubeno Arief, dalam akun youtube Hersubeno Point menilai ada kejanggalan yang dilakukan MA.

Dikatakan, gugatan ini didaftarkan pada 13 Mei 2019, sementara putusan KPU tentang pemenang pilpres adalah Joko Widodo-Maruf Amin ditetapkan pada 21 Mei 2019.

Menariknya, putusan ini baru diunggah ke laman MA pada 3 Juli 2020 atau baru beberapa hari yang lalu.

“MA memutuskan pada 28 Oktober 2019, tapi direktori MA baru mengupload 3 Juli 2020,” ujarnya dalam video yang baru diunggahnya hari ini (7/7/2020).

“Ada jeda yang panjang putusan ini baru di-publish, ada jeda sembilan bulan."

Ia juga menambahkan, berdasarkan putusan MA disebutkan bahwa PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU 7/2017 tentang Pemilu. Di mana UU ini mengatur sejumlah kriteria pemenang jika hanya ada dua pasangan calon yang bertanding di pilpres.

Misalnya pasangan calon harus menang 50 persen plus satu suara, kemudian meraih minimal 20 persen di seluruh provinsi, dan menang minimal 50 persen di separuh provinsi.

"Sementara pasangan Jokowi-Maruf, kata Hersubeno, tidak memenuhi ketentuan itu. Mereka kalah di 13 provinsi, dan ada 2 provinsi hanya meraih 14 persen suara. Aceh 14,41 persen dan Sumatera Barat lebih kecil 14,08 persen,” ujarnya dalam video berdurasi 5:48 menit itu.

Tanggapan Yusril Ihza Mahendra

Yusril Ihza Mahendra, yang pernah menjadi Kuasa hukum paslon Jokowi-Maruf, juga angkat bicara soal hal ini.

Menurut Yusril, dalam putusan itu, MA hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak.

Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019.

Berikut penjelasan Yusril sebagaimana keterangannya yang diterima Tribunnews.com:

Menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh MK karena hal itu menjadi kewenangannya. MA samasekali tidak berwenang mengadili sengketa Pilpres. Putusan MK itu final dan mengikat.

Dalam menetapkan kemenangan Jokowi dan Kiai Ma'ruf, KPU merujuk pada Putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subijanto dan Sandiaga Uno.

Lagi pula putusan uji materil itu diambil oleh MA tanggal 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Kiyai Ma'ruf dilantik oleh MPR.

Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang.

Aturan Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam dalam Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu.

Ketentuan Pasal 7 ayat 3 PKPU No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal Paslon Capres dan Cawapres hanya dua pasangan.

Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi2 sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri.

Patut disadari bahwa Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan.

MA memutus perkara pengujian PKPU itu dengan merujuk kepada Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tsb, sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu.

Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tsb bertentangan dengan Putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya.

Putusan MK itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Karena materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, maka Putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2007 tentang Pemilu.

Kalau pasangan calon hanya 2, dan harus diulang2 terus agar memenuhi syarat kemenangan menurut sebaran wilayah, maka Pilpres menjadi tidak jelas kapan akan berakhir.

Sementara masa jabatan Presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun termasuk MPR. Ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan chaos di negara ini.

Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tata negara adalah Pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya.

Penjelasan KPU

Menanggapi putusan MA tersebut, KPU menyatakan perolehan suara Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin sudah sesuai dengan syarat UUD 1945.

Berikut penjelasan Hasyim Asy'ari, Anggota KPU, lewat keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com:

A. Dasar Hukum

UUD 1945 (Hasil Amandemen)

Pasal 6A

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

B. Logika Hukum

Bila peserta Pemilu hanya ada 2 pasangan calon (paslon), secara logis seluruh suara sah secara nasional (100%) bila dibagi 2 paslon, tentu 1 paslon memperoleh suara lebih dari 50% (>50%) dan paslon lain memperoleh suara kurang dari 50% (<50%).

Demikian juga perolehan suara masing2 paslon di setiap provinsi, karena hanya ada 2 paslon, tentu 1 paslon memperoleh suara lebih dari 50% (>50%) dan paslon lain memperoleh suara kurang dari 50% (<50%).

C. Formula Pemilihan (Rumus menentukan Pemenang Pilpres)

Formula Pemilihan (electoral formula) Pilpres 2019 berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 (Hasil Amandemen).

Pemenang Pilpres 2019 ditentukan berdasarkan 3 hal berikut ini:

1. Mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum (paslon memperoleh suara lebih dari 50% suara sah nasional);

2. Mendapatkan suara dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi (paslon memperoleh suara minimal 20% suara sah di setiap provinsi); dan

3. Perolehan suara minimal 20% suara sah di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Tiga ketentuan tersebut adalah kumulatif, artinya 3 hal tsb harus dipenuhi semua, untuk dinyatakan sbg pemenang Pilpres 2019.

D. Fakta Hukum Pilpres 2019

1. Peserta Pilpres 2019 ada 2 Paslon:

01 Jokowi-Amin

02 Prabowo-Sandi

2. Perolehan Suara Sah Nasional:

Total suara sah nasional (suara di 34 provinsi dan suara pemilu di Luar Negeri) = 154.257.601 suara, dg perincian perolehan suara masing2 paslon sbg berikut:

01. 85.607.362 (55,50%).
02. 68.650.239 (44,50%).

3. Persebaran Perolehan Suara di Setiap Provinsi

Jumlah provinsi di Indonesia adalah 34 provinsi. Setengah jumlah provinsi di Indonesia adalah 34 dibagi 2 (34 ÷ 2) = 17.
Dengan demikian ketentuan "lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia", adalah lebih dari 17 provinsi.

Paslon 01. Menang di 21 Provinsi (dg perolehan suara lebih dari 50% di setiap provinsi), yaitu:

1. Sumut
2. Lampung
3. Babel
4. Kepri
5. DKI Jakarta
6. Jateng
7. DI Yogyakarta
8. Jatim
9. Bati
10. NTT
11. Kalbar
12. Kalteng
13. Kaltim
14. Sulut
15. Sulteng
16. Gorontalo
17. Sulbar
18. Maluku
19. Papua
20. Papua Barat
21. Kaltara.

Paslon 02. Menang di 13 Provinsi (dg perolehan suara lebih dari 50% di setiap provinsi), yaitu:

1. Aceh
2. Sumbar
3. Riau
4. Jambi
5. Bengkulu
6. Sumsel
7. Jabar
8. Banten
9. NTB
10. Kalsel
11. Sulsel
12. Sultra
13. Maluku Utara.

E. Kesimpulan

Hasil Pilpres 2019 dengan pemenang Paslon 01 Jokowi-Amin sudah sesuai dengan ketentuan formula pemilihan (electoral formula) sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6A UUD 1945 (konstitusional), yaitu Paslon 01 Jokowi-Amin:

1. Mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum (paslon memperoleh lebih dari 50% suara sah nasional), yaitu 85.607.362 suara (55,50%).

2. Mendapatkan suara sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, yaitu Menang di 21 Provinsi (dg perolehan suara lebih dari 50% di setiap provinsi).

Demikian penjelasan, semoga manfaat.

(*)

Artikel telah tayang di Tribunnews.com dengan judul:MA Kabulkan Gugatan Rachmawati Soal Aturan Pilpres KPU, Sahkah Hasil Pilpres 2019?

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved