Opini
Mengharap ‘Tuah’ Ekonomi Digital
IT is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change. Ungkapan Charles Darwin
Oleh: Muhajir
Dosen IAIN Palopo
"IT is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change".
Begitulah ungkapan Charles Darwin, ilmuan naturalis berkebangsaan Inggris yang masyhur seantero jagad atas kontribusi pemikirannya dalam mencipta teori evolusi.
Gamblang dan sederhana, Charles Darwin mengutarakan bahwa spesies yang mampu bertahan bukan soal yang pintar ataupun kuat, dan saya tambahkan terlebih bagi yang serakah, tapi spesies yang responsif pada perubahanlah yang akan melanjutkan generasi.
Berhabitat melahirkan peradaban.
Manusia yang mewarisi miliaran kehidupan mampu melakukan itu.
Bahkan memiliki andil besar untuk meciptakan perubahan.
Sama halnya di era kenormalan baru ini, perubahan fundamental dalam tatanan hidup atau yang dikenal dengan istilah disrupsi sementara berlangsung.
Begitu cepat dan masif.
Era disrupsi yang dulu digaungkan akan menjadi bagian dari kehidupan dimasa mendatang telah sukses dipercepat kehadirannya oleh Covid-19.
Maka, adalah keniscayaan bagi kita menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Penggunaan teknologi sebagai efek dari hadirnya disrupsi telah akrab bersenggama dalam aktivitas kita.
Baca juga: Mudik, Ekonomi, dan Pandemi Virus Corona / Covid-19
Terlebih di bidang ekonomi yang saat ini tertatih bangkit di era new normal.
Pemerintah dan industri mengalihkan sebagian besar interaksi ekonomi dan bisnis ke dunia digital sebagai upaya memompa denyut nadi perekonomian.
Dengan demikian keampuhan akan ‘tuah’, kekuatan, atau kemandragunaan ekonomi digital sebagai salah satu instrumen menormalkan kembali aktifitas ekonomi sangat diharapkan pemerintah dan industri.
Bila kita merujuk pada literatur global yang dirilis beberapa lembaga dan korporasi bereputasi seperti McKinsey, Thomson Reuters, atau Statista, ekonomi digital di Indonesia sedang mengalami kemajuan, bahkan di proyeksi akan merajai market digital di asia tenggara.
Namun, saya tidak akan menyeret pembahasan kita ke angka dan grafik dari lembaga dan korporasi kredibel tersebut.
Ada hal penting yang perlu kita telisik bersama terkait ekonomi digital. Siapa pelaku ekonomi digital? Apa dampak yang dihasilkan?
Dua pertanyaan dasar ini merupakan navigasi bagi kita untuk menghantarkan pengetahuan awal akan tuah atau kekuatan ekonomi digital dalam menjalankan perannya sebagai bagian dari penggerak ekonomi, terutama di era kenormalan baru ini.
Pelaku Ekonomi Digital
Ekonomi digital yang terdiri dari e-commerce dan financial teknologi (FinTech) bukan hal baru dalam aktifitas ekonomi dan bisnis di Indonesia.
Terkhusus e-commerce, jauh sebelum hadirnya Covid-19 geliatnya mengalami kemajuan.
Pada tahun 2018, usaha e-commerce mampu menghasilkan 24,82 juta jumlah transaksi dengan nilai transaksi 17,21 triliun (sumber: BPS).
Sedangkan FinTech di tahun 2019 dari 164 jumlah perusahaan yang terdaftar mampu menyalurkan pinjaman Rp 81,50 triliun (sumber: OJK).
Dengan keadaan masyarakat yang semakin konsumtif di perkirakan akselerasi ekononomi digital akan semakin meningkat.
Yang menarik, pertumbuhan transaksi e-commerce tidak berlaku simultan dengan partisipasi pelaku UMKM yang menggunakan startup atau e-commerce.
Menurut Kementerian Koperasi dan UKM, Pelaku UMKM digital hanya 13 persen sisanya 87 persen masih offline yang tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
Dampak Dihasilkan
Tingginya transaksi yang berbanding terbalik dengan rendahnya partisipasi UMKM dalam aktivitas digital memantik hipotesa bahwa pusaran ekonomi digital hanya terakumulasi di para raksasa startup e-commerce yang berpredikat ‘unicorn’.
Jika benar, ini hal yang serius.
Efeknya adalah ketimpangan digital.
Ekonomi digital mampu memberi efek beruntun (trickle-effect) dalam usaha pemulihan ekonomi nasional.
Memicu transaksi dan membuka peluang kerja merupakan secuil dari sekian manfaat yang bisa dihasilkan.
Ekonomi digital juga bisa sebagai lokomotif pelaku usaha kecil untuk melakukan proses bisnis dengan biaya rendah dikarenakan tidak mesti memiliki toko secara fisik.
Potensi ekonomi digital mesti dikelola secara optimal oleh Pemerintah.
GlobalWebIndex telah merilis bahwa di tahun 2019 adopsi e-commerce di Indonesia merupakan tertinggi dunia.
Ditemukan 90 persen pengguna internet di Indonesia yang berusia 16 sampai 64 tahun pernah melakukan pembelian produk dan jasa secara daring.
Tentunya data ini jangan dijadikan sekedar angin lalu bagi para stakeholder.
Penguatan ekonomi digital tidak hanya memperhatikan infrastruktur semata.
Penguatan regulasi pun menjadi urgent dilakukan.
Terutama sekaitan dengan data konsumen digital yang berulang kali dikanibal pelaku cyber crime.
Roadmap e-commerce tahun 2017-2019 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 menjadi salah satu acuan kita untuk mengevaluasi kinerja perdagangan nasional berbasis elektronik (e-commerce).
Pengaruh atau tuah ekonomi digital bisa dengan khidmat kita nikmati hanya bila pemerataan ekonomi digital diwujudkan.
Pelaku usaha kecil difasilitasi dan dilakukan pendampingan untuk terlibat aktif dan inovatif dalam ekonomi digital.
Mantra ekonomi global yang menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar jangan lagi menjadi penuntun dalam pembangunan ekonomi nasional.
Sehingga yang terwujud ekonomi digital inklusif, bukan eksklusif.(*)