Gojekkan Kemendikbud
BANYAK yang meragukan nadhiem dalam kapasitas sebagai mendikbud republik Indonesia.
Oleh: Irman Yasin Limpo
Ketua PB PGRI dan mantan kadisdik sulsel
BANYAK yang meragukan nadhiem dalam kapasitas sebagai mendikbud republik Indonesia.
Berbagai meme yang menghubungkan gojek dgn tugasnya Mendikbud diposting oleh banyak nitezen.
Nadhiem adalah sosok kontroversi yang masuk dalam birokrasi tata kelola pendidikan di Indonesia. Tentu hal ini membuat kaget beberapa kalangan yang selama ini nyaman dalam dinamika dunia pendidikan.
Persoalan mendasar yang selama ini ada seakan ikut teperanjat akan kehadiran Nadhiem sebagai Menteri Pendidikan.
Bagi kalangan yang membutuhkan perubahan pendidikan Indonesia menaruh optimisme yg luar biasa akan kehadiran sosok seorang Nadhiem. Harapan saya selaku mantan Kepala Dinas Pendidikan Sulsel dan akhir akhir ini mengikuti secara faktual pengelolaan pendidikan Indonesia ingin memberi masukan sebagai berikut:
1. Ubah ekosistem berpikir di lingkungan Kemendikbud yang terus dan selalu berorientasi pada tata kelola pendidikan yang berbasis proyek atau kegiatan yang berbiaya besar. Kegiatan selama ini fokus dan ujungnya harus sarana, pengadaan dan ceremonialisasi kegiatan.
2. Integritas data pokok pendidikan yang harus ditingkatkan, selama ini bisa dipastikan bahwa dapodik tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan, data ini disusun oleh sekolah dan dimentori oleh kementerian dengan "atmosfir" berpikir mendapatkan bantuan serta program dari kemendikbud, orientasi sekolah dalam membuat data itu hanya utk sarana dan pra sarana.
Banyak data sudah tidak sesuai dengan faktanya, jumlah murid dibengkakkan hanya untuk mengejar jumlah dana BOS. Penambahan ruang kelas baru padahal murid baru yang mendaftar lebih kurang dari tahun lalu, serta berbagai praktek manupulatif data yang seharusnya di sekolah tidak terjadi. Sekolah sebaiknya tidak mewariskan kejujuran itu pada generasi kita.
3. Kurikulum yang tidak jelas implemetasinya, Kurikulum 2013 yang basisnya evaluasi harian masih diisi dengan berbagai evaluasi semesteran dan evaluasi akhir, nantinya membangun sistem belajar yang terpacu pada saat menjelang ujian akan dilakukan. Akhirnya praktek-praktek diskriminatif dan manipulatif dalam pemberian nilai juga terjadi.
4. Standarisasi yang tidak jelas penilaiannya, institusi yang bekerja untuk melakukan hal ini sangat beragam mulai dari badan akreditasi, LPMP dan instrumen pengawas semua bekerja secara berbeda tapi muaranya sama yakni menilai penerapan delapan standart pendidikan yang kadangkala hasilnya berbeda di antara mereka, malah terkadang guyonan sekolah mengatakan bahwa penilaian tersebut tergantung dari pengaluangn bunga atau amplop yang diberikan pada para petugasnya.
5. Permarginalan pendidikan karakter di kurikulum, anak-anak dipacu terus untuk memahami kognitif, tidak dibentuk sebagai sebuah pribadi yang unggul tetapi diorientasikan bagaimana menyelesaikan strata pendidikan. Siswa dianggap mampu apabila nilai nilai kognitifnya bagus dan sayangnya strata pendidikan lanjutan atau diatasnya melihat itu sebagai refrensi utama.
6. Motivasi dan kompetensi guru yg rendah perlu ditingkatkan. Mulai jargon yang melekat diprofesi guru dan itu tidak bisa dipungkiri karena hanya gurulah yang fokus mempersiapkan sosok anak bangsa dalam menata kehidupan di masa yang akan datang di berbagai segmen pengabdian. Namun jargon ini juga bisa menjadikan adanya keengganan untuk mengawasi guru dalam mengimplementasikan tugasnya mendidik dan mengajar.
Pemerintah dan masyarakat harus kuat mengawasi tugas utama guru, dibuatkan paramater utama dan jelas yang menjadi indikator bagi pemerintah dan masyarakat untuk menilai bahwa tugas guru ini sudah dapat dikategorikan sebagai mendidik atau hanya menggugurkan kewajiban sebagai seorang pekerja di sebuah sekolah. Apakah absen guru sudah benar? Apakah tindakan kelasnya sudah benar? Apakah pedagoginya sudah tepat? Apakah profesionalisme dan inovasinya sudah dilakukan? Apakah bisa jadi panutan anak anak? Apakah sudah tidak ada lagi kendala adminstrasi untuk guru dalam peningkatan mutu dan kesejahteraan?
8. Permudah semua urusan pendidikan melalui digitalisasi birokrasi, hubungan pusat dan daerah dilancarakan dan tumbuhkan saling percaya, pusat jangan sok tahu dan daerah jangan sok jago. Administrasi guru sudah saatnya digital penuh jangan lagi tergantung oleh kertas dan pelayanan manual yang dapat membuat guru kehilangan jam pelajaran dan ribet menerima pelayanan.
9. Hilangkan mafia pendidikan yang selama ini menjadi penumpang gelap yang mengotori kesucian pendidikan, mafia yang disinyalir bergerak mempengaruhi kurikulum sehingga buku dan alat peraga yang diproduksi sesuai dengan kebutuhan penerbit dan pemasok tertentu. Pak Nadhiem harus berani merubah dana DAK dengan skema lain karena ini jadi bancakan bagi kelompok tertentu dan DAK ini dijadikan prestise kepala sekolah, dimana keberhasilan kepala sekolah diukur seberapa besar DAK yang didapatkannya. Ini serius Pak Nadhiem harus hentikan atau ubah skema DAK ini. Audit semua aplikasi tentang DAK ini sekali lagi kantor bapaklah yang harus legowo untuk ini. Akibat DAK yang diswa kelolakan para kepala sekolah kadang lebih fokus jadi kontraktor dibanding jadi manajer sekolah.
Berbagai macam kendala tentu akan dihadapi tapi cara yang paling awal dan tepat adalah memperbaiki dan menata dapur pendidikan kita yakni kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Memburu 20 persen APBN sebagai tujuan pendidikan harus diganti menjadi perburuan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan masa depan mereka.
Nadhiem harus mampu "menggojekkan kemendikbud" dengan berbagai fitur baru dan jangan pernah mau ditakuti dengan kesan kesan ilmiah yang sengaja diciptakan untuk mempertahankan status quo. Nadhiem harus menuntaskan apa yang juga telah diupayakan dan diubah oleh Bapak Muhajir Effendi selama ini.(*)