Tribun Wiki
Musik Keroncong Indonesia Berjaya Hingga ke Luar Negeri, Simak Asal Usulnya
Keroncong adalah jenis musik khas Indonesia yang menggunakan instrumen musik dawai, flute, dan vokal.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Ina Maharani
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Indonesia memiliki beragam seni dan budaya.
Salah satu kesenian yang saat ini masih terus dikembangkan yakni musik keroncong.
Bahkan, eksistensinya hingga ke luar negeri.
Baru-baru ini, musik keroncong terasa mampu menghipnotis ratusan hadirin yang memadati galeri Freer & Sackler di lembaga Smithsonian, Washington, D.C, Amerika Serikat, Minggu malam (5/10/2019).
Dilansir dari Kompas.com, pergelaran keroncong ini membuka rangkaian acara Performing Indonesia, yang akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2020.
Pertunjukan maestro Keroncong Indonesia dan AS ini adalah kolaborasi antara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Washington, D.C. dan Galeri Freer & Sackler, Smithsonian.
Acara yang dilaksanakan dalam rangka memperingati perayaan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-AS itu menghadirkan para maestro keroncong Indonesia.
Ada Endah Laras dan Danis Sugiyanto, serta grup Keroncong Rumput asal University of Richmond, Virginia, AS, pimpinan Profesor Andy McGraw.
Uniknya, seluruh personel grup Keroncong Rumput adalah warga negara AS. Dalam konser ini, penonton disapa dengan langgam terkenal Bengawan Solo.
Lagu-lagu lainnya antara lain Keroncong Moritsko, Jali-jali, Keroncong Kemayoran, Ayo Ngguyu, Gado-Gado, dan Yen Ing Tawang Ana Lintang.
Lalu ada Walang Kekek, hingga Jangkrik Genggong yang dibawakan dengan aransemen Keroncong yang apik.
Seluruh lagi seperti mampu menghipnotis penonton di Auditorium Meyer.
Buktinya, meskipun lagu-lagu yang dibawakan berlirik bahasa Indonesia dan bahasa daerah, terutama Jawa, namun tidak menyurutkan minat ratusan hadirin untuk ikut bernyanyi.
Bahkan, mereka terlihat ikut tertawa bersama saat lagu "Ayo Ngguyu" (Mari Tertawa) dibawakan dengan interaktif oleh Endah Laras.
Mereka yang menonton adalah pakar seni dan budaya, diplomat asing, dan penikmat seni lokal AS.
“Saya sangat takjub melihat antusiasme yang sangat besar ini. Bukan hanya itu, grup Rumput juga membuat saya terpukau dan tidak bisa berkata-kata karena mereka sangat mahir bermain kerocong."
"Sampai-sampai saya sendiri pun rasanya perlu belajar banyak dari mereka. Tidak heran mereka sangat terkenal di sini dan di Indonesia.”
Demikian penuturan Endah Laras, seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Kompas.com dari KBRI Washington, D.C., Senin pagi WIB (7/10/2019).
Rasa takjub Endah dirasakan juga oleh penonton yang pada akhir konser serempak berdiri memberikan tepuk tangan panjang sebagai tanda apresiasi atas pergelaran ini.
“Sungguh mengagumkan!” seru Ari Post, seorang warga Washington, D.C. yang juga merupakan seorang pakar seni. “Saya sudah pernah mendengar dan membaca informasi mengenai keroncong, namun ini kali pertama saya mendengar musiknya."
"Alunan musiknya yang menenangkan tapi juga bisa rancak dan dinamis membuat saya merasa larut dan seperti sudah kenal jauh dan lama dengan keroncong,” kata Post.
Senada dengan Post, Emma Stein -kurator seni Smithsonian Institution, merasa keroncong seperti sudah menjadi salah satu musik favoritnya.
“Meskipun saya sudah tahu sedikit budaya Indonesia melalui gamelan, namun ada hal lain yang sangat unik menarik saya untuk jatuh cinta terhadap keroncong," tutur Stein.
Performing Indonesia adalah program andalan Galeri Freer & Sackler Smithsonian Institution yang menampilkan seni budaya khas Indonesia.
Rangkaian festival ini mengedepankan musisi, penari, dan artis Indonesia lainnya yang berada baik di Asia maupun yang tinggal di AS.
Mereka berkolaborasi dengan para seniman asal AS dalam menyebarkan dan melestarikan seni pertunjukan bangsa Indonesia.
Tahun 2019 merupakan kali ke-4 program ini dilaksanakan dengan mengusung tema besar musik populer Indonesia.
Profil Keroncong
Dilansir dari wikipedia, Keroncong adalah jenis musik khas Indonesia yang menggunakan instrumen musik dawai, flute, dan vokal.
Asal usul
Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara.
Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku.
Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini.
Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol, seperti polka agak lamban ritmenya), di mana salah satu lagu oleh Kusbini disusun kembali kini dikenal dengan nama Kr. Muritsku, yang diiringi oleh alat musik dawai.
Musik keroncong yang berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan.
Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya.
Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang berkembang sejak 1950, dan berjayanya grup musik Beatles dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga sekarang).
Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.
Fado, Gereja Protestan dan Musik Keroncong
Seperti diketahui bahwa Musik Keroncong masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun 1512.
Tentu saja para pelaut Portugis membawa lagu jenis Fado, yaitu lagu rakyat Portugis bernada Arab (tangga nada minor, karena orang Moor Arab pernah menjajah Portugis/Spanyol tahun 711 - 1492.
Lagu jenis Fado masih ada di Amerika Latin (bekas jajahan Spanyol), seperti yang dinyanyikan Trio Los Panchos atau Los Paraguayos, atau juga lagu di Sumatra Barat (budaya Arab) seperti Ayam Den Lapeh.
Pada waktu tawanan Portugis dan budak asal Goa (India) di Kampung Tugu dibebaskan pada tahun 1661 oleh Pemerintah Hindia Belanda (VOC), mereka diharuskan pindah agama dari Katholik menjadi Protestan, sehingga kebiasaan menyanyikan lagu Fado menjadi harus bernyanyi seperti dalam Gereja Protestan, yang pada tangga nada mayor.
Selanjutnya pada tahun 1880 Musik Keroncong lahir, dan awal ini Musik Keroncong juga dipengaruhi lagu Hawai yang dalam tangga nada mayor, yang juga berkembang pesat di Indonesia bersamaan dengan Musik Keroncong (lihat Musik Suku Ambon atau The Hawaian Seniors pimpinan Jenderal Polisi Hugeng).
Perkembangan musik keroncong masa kini
Setelah mengalami evolusi yang panjang sejak kedatangan orang Portugis di Indonesia (1522) dan permukiman para budak di daerah Kampung Tugu tahun 1661.
Ini merupakan masa evolusi awal musik keroncong yang panjang (1661-1880), hampir dua abad lamanya, namun belum memperlihatkan identitas keroncong yang sebenarnya dengan suara crong-crong-crong, sehingga boleh dikatakan musik keroncong belum lahir tahun 1661-1880.
Dan akhirnya musik keroncong mengalami masa evolusi pendek terakhir sejak tahun 1880 hingga kini, dengan tiga tahap perkembangan terakhir yang sudah berlangsung dan satu perkiraan perkembangan baru (keroncong millenium).
Tonggak awal adalah pada tahun 1879, di saat penemuan ukulele di Hawai yang segera menjadi alat musik utama dalam keroncong (suara ukulele: crong-crong-crong), sedangkan awal keroncong millenium sudah ada tanda-tandanya, namun belum berkembang (Bondan Prakoso).
Empat tahap masa perkembangan tersebut:
(a) Masa keroncong tempo doeloe (1880-1920),
(b) Masa keroncong abadi (1920-1960), dan
(c) Masa keroncong modern (1960-2000), serta
(d) Masa keroncong millenium (2000-kini)
Masa keroncong tempo doeloe (1880-1920)
Ukulele ditemukan pada tahun 1879 di Hawaii, sehingga diperkirakan pada tahun berikutnya Keroncong baru menjelma pada tahun 1880, di daerah Tugu kemudian menyebar ke selatan daerah Kemayoran dan Gambir (lihat ada lagu Kemayoran dan Pasar Gambir, sekitar tahun 1913).
Komedie Stamboel 1891-1903 lahir di Kota Pelabuhan Surabaya tahun 1891, berupa Pentas Gaya Instanbul, yang mengadakan pertunjukan keliling di Hindia Belanda, Singapura, dan Malaya lewat jalur kereta api maupun kapal api.
Pada umumnya pertunjukan meliputi Cerita 1001 Malam (Arab) dan Cerita Eropa (Opera maupun Rakyat), termasuk Hikayat India dan Persia.
Sebagai selingan, antar adegan maupun pembukaan, diperdengarkan musik mars, polka, gambus, dan keroncong. Khusus musik keroncong dikenal pada waktu itu Stambul I, Stambul II, dan Stambul III.
Pada waktu itu lagu Stambul berirama cepat (sekitar meter 120 untuk satu ketuk seperempat nada), di mana Warga Kampung Tugu maupun Kusbini menyebut sebagai Keroncong Portugis, sedangkan Gesang menyebut sebagai Keroncong Cepat, dan berbaur dengan Tanjidor yang asli Betawi.
Pada masa ini dikenal para musisi Indo, dan pemain biola legendaris adalah M. Sagi (perhatikan rekaman Idris Sardi main biola lagu Stambul II Jali-jali berdasarkan aransemen dari M. Sagi).
Masa keroncong millenium (2000-kini)
Walaupun musik keroncong di era millenium (tahun 2000-an) belum menjadi bagian dari industri musik pop Indonesia, tetapi beberapa pihak masih mengapresiasi musik keroncong.
Kelompok musik Keroncong Merah Putih, kelompok keroncong berbasis Bandung masih cukup aktif melakukan pertunjukan.
Selain itu, Bondan Prakoso dan grupnya Bondan Prakoso & Fade 2 Black, menciptakan komposisi berjudul "Keroncong Protol" yang berhasil memadukan musik gaya rap dengan musik latar belakang irama keroncong.
Pada tahun 2008 @ Solo International Keroncong Festival, Harmony Chinese Music Group membuat suasana lain dengan memasukan unsur alat musik tradisional Tionghoa dan menamainya sebagai Keroncong Mandarin.
Tokoh keroncong
Salah satu tokoh Indonesia yang memiliki kontribusi cukup besar dalam membesarkan musik keroncong adalah bapak Gesang.
Lelaki asal kota Surakarta (Solo) ini bahkan mendapatkan santunan setiap tahun dari pemerintah Jepang karena berhasil memperkenalkan musik keroncong di sana.
Salah satu lagunya yang paling terkenal adalah(lagu)|Bengawan Solo. Lantaran pengabdiannya itulah, oleh Gesang dijuluki "Buaya Keroncong" oleh insan keroncong Indonesia, sebutan untuk pakar musik keroncong.
Gesang menyebut irama keroncong pada MASA STAMBUL (1880-1920), yang berkembang di Jakarta (Tugu, Kemayoran, dan Gambir) sebagai Keroncong Cepat; sedangkan setelah pusat perkembangan pindah ke Solo (MASA KERONCONG ABADI: 1920-1960) iramanya menjadi lebih lambat.
Asal muasal sebutan "Buaya Keroncong" untuk Gesang berkisar pada lagu ciptaannya, "Bengawan Solo".
Bengawan Solo adalah nama sungai yang berada di wilayah Surakarta.
Seperti diketahui, buaya memiliki habitat di rawa dan sungai.
Reptil terbesar itu di habitanya nyaris tak terkalahkan, karena menjadi pemangsa yang ganas.
Pengandaian semacam itulah yang mendasari mengapa Gesang disebut sebagai "Buaya Keroncong".
Di sisi lain nama Andjar Any (Solo, pencipta Langgam Jawa lebih dari 2000 lagu yang meninggal tahun 2008) juga mempunyai andil dalam keroncong untuk Langgam Jawa beserta Waldjinah99 (Solo), sedangkan R. Pirngadie (Jakarta) untuk Keroncong Beat, Manthous (Gunung Kidul, Yogyakarta) untuk Campursari dan Koes Plus (Solo/Jakarta) untuk Keroncong Rock, serta Didi Kempot (Solo) untuk Congdut.
Sumber berita: https://lifestyle.kompas.com/read/2019/10/07/065054320/ketika-musik-keroncong-memikat-ratusan-warga-washington-dc?page=all
Foto: tribun jateng/suharno
Festival Keroncong di halaman Balikota Solo, Sabtu (26/9/2015) malam.