Kabar Buruk untuk Presiden Jokowi Jelang Dilantik, Ada Upaya Jatuhkan Pemerintahan, Ini Isu Dipakai
Kabar buruk untuk Presiden Jokowi dan Maruf Amin jelang pelantikan, ada upaya jatuhkan pemerintah, ini isu dipakai.
TRIBUN-TIMUR.COM - Kabar buruk untuk Presiden Jokowi dan Maruf Amin jelang pelantikan, ada upaya jatuhkan pemerintah, ini isu dipakai.
Akan ada aksi besar-besaran sebelum pelantikan "RI 1" dan "RI 2", 20 Oktober 2019.
Badan Intelijen Negara ( BIN) memprediksi masih ada pergerakan massa pada hari-hari jelang pelantikan Joko Widodo dan Kiai Haji Maruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019 mendatang.
"Kalau dilihat dari peredaran ajakan (di media sosial), mereka kan ngajak terus tuh, jadi masih," ujar Juru Bicara BIN Wawan Hari Purwanto saat wawancara khusus di kantor Tribunnews.com, Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (3/10/2019).
Isu yang dinarasikan juga sama, yakni kektidakpuasan atas kebijakan DPR RI dan pemerintah tentang sejumlah peraturan perundang-undangan.
Namun, Wawan menyebut, isu itu hanya akan dijadikan tameng.
Tujuan sebenarnya adalah menjatuhkan pemerintahan yang sah.
"Mereka akan terus menambahi (narasi). Aksinya sih bareng-bareng, tapi mumpung ada ini (aksi), ya dia terus melontarkan sesuatu, ajakan-ajakan mengarah ke sana," ujar Wawan.
Meski demikian, BIN memastikan, pergerakan massa itu terpantau penuh.
BIN sekaligus berupaya agar meredamnya sehingga tidak menjadi besar.
"Secara prinsip, (aksi massa) under control. Karena kami ini kan juga terus dekati. Kita ini kan saling kenal juga," ujar Wawan.
"Tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi. Ini semuanya kan hanya kepentingan. Sedikit banyak gesekan, enggak apa-apa. Kita boleh berbeda, bertarung, habis itu rangkul-rangkulan lagi," lanjut dia mengatakan.
Ia sekaligus memastikan, Polri dan TNI solid dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat di Indonesia.
"Yang jelas Panglima dan Kapolri sudah menyatukan tekad menjaga NKRI ini tetap utuh serta agenda yang digulirkan sampai pelantikan (presiden dan wakil presiden) tidak ada hambatan," ujar Wawan.
Mahasiswa UIN Jakarta Akan Kembali Demo
Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Jakarta mengatakan akan kembali turun berdemonstrasi menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih.
"Kemungkinan sebelum pelantikan presiden kami akan turun," ujar Wakil Presiden Dema UIN Jakarta, Riski Ariwibowo, saat berdiskusi di Warung Jati Timur Raya Nomor 7, Jakarta, Kamis kemarin.
Namun sampai saat ini, ia menilai mahasiswa masih menahan diri untuk melihat keadaan dan situasi pascapelantikan anggota DPR yang baru.
"Kami punya forum kajian di Ciputat, nanti dari sana kami akan mengkonsolidasi kepada unit-unit lain," kata dia.
Ia menjelaskan alasan mengapa mahasiswa mau turun bukan karena ada yang menunggangi mereka tetapi semua berawal dari nurani yang terusik karena tingkah laku pemegang kekuasaan.
Ia menambahkan tuntutan mereka jelas, karena UU KPK sudah disahkan padahal tidak masuk program legislasi nasional.
Selain itu, beberapa RUU lain juga seperti terburu-buru disahkan menjelang akhir jabatan.
Walau begitu, pemerintah memutuskan menunda pemberlakuan beberapa RUU yang dinilai bermasalah.
"Mengapa di akhir masa jabatan ini DPR sudah terburu-buru mengesahkan UU KPK? Sampai saat ini kami masih melihat situasi dan keadaan," ujar Riski.
Ia juga mengkritisi tindakan represif polisi di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dinilai tidak sesuai prosedur tetap yang mereka buat sendiri, dimana ada kesan menghalangi proses penyampaian pendapat.
"Demokrasi, prinsip dasarnya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Mahasiswa akan selalu menjadi oposisi Pemerintah. Dimana pemerintah saat ini terlalu berpihak ke elit. Karena banyak kebijakan yang tidak pro rakyat," ujar dia.
Paradoks Demokrasi
Dalam kesempatan yang sama, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, demokrasi di Indonesia bertopeng sehingga tidak berlebihan ketika mempertanyakan demokrasi dan penegakan hukum saat ini.
"Demokrasi kita bertopeng. Sangat paradoks. Kita tidak membangun nilai-nilai demokrasi dengan sebenarnya," ujar dia, saat menjadi pembicara dalam kajian bertajuk Quo Vadis Demokrasi dan Penegakan Hukum di Indonesia yang digelar Din Syamsuddin itu.
Pendapat Siti berdasarkan Pemilihan Umum 2019 dimana saat itu menurut dia demokrasi cenderung dipolitisasi.
"Nilai-nilai diabaikan. Semua tahapan hanya prosedural. Tapi substansinya tidak memenuhi syarat," ujar peneliti senior Ilmu Politik itu.
Akibat dari tahapan prosedural yang diabaikan tadi menjadikan konflik antarmasyarakat menjadi-jadi.
Padahal seharusnya, semakin demokratis sistem dijalankan, semakin kecil konflik.
Tapi di Indonesia yang terjadi sebaliknya.
"Saya agak terpukau, kita berdemokrasi tapi tidak juga membangun demokrasi. Indeks demokrasi kita turun dilihat dari indikator kebebasan menyatakan pendapat turun. Kinerja demokrasi juga turun," ujar Siti Zuhro.
Oleh karena itu, ia menilai gerakan konsolidasi masyarakat sipil memang perlu, karena kita tidak bisa berharap banyak kepada partai-partai politik lagi.
"Mereka (parpol) sangat politis dan sangat berkontestasi atas kepentingannya sendiri," ujar Siti Zuhro.(*)