Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Bukan Wiranto Buat Jokowi Berubah Pikiran Soal RUU KPK, Orang Ini Termasuk Ayah Najwa Quraish Shihab

Bukan Wiranto Buat Jokowi Berubah Pikiran Soal RUU KPK, Orang Ini Termasuk Ayah Najwa Quraish Shihab

DOK NAJWA SHIHAB
Bukan Wiranto Buat Jokowi Berubah Pikiran Soal RUU KPK, Orang Ini Termasuk Ayah Najwa Quraish Shihab 

Bukan Wiranto Buat Jokowi Berubah Pikiran Soal RUU KPK, Orang Ini Termasuk Ayah Najwa Quraish Shihab

TRIBUN-TIMUR.COM,- Demo RUU KPK masih terjadi di sejumlah tempat.

Selain dilakukan oleha mahasiswa, juga oleha pelajar STM.

Hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan pernyataan apapun.

Terkait apakah akan mengeluarkan Perppu atau tidak.

Namun presidne yang sebelumnya menolak menerbitkan Perpu sepertinya akan berpikir kembali.

Apoalagi setelah presiden menerima masukan sejumnlah tokoh di istana.

Salah satunya yang hadir yaitu Mahfud MD.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD mengungkapkan diskusi yang terjadi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Diskusinya soal peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan RUU KPK.

Jokowi seusai bertemu dengan sejumlah tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019) mengaku akan mempertimbangkan usul tersebut.

Padahal, pada Rabu (25/9/2019), melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jokowi menuturkan penolakan untuk mencabut UU KPK hasil revisi.

Mahfud MD lantas menuturkan isi diskusi yang terjadi.

Hingga Jokowi kembali memutuskan untuk mempertimbangkan perppu tersebut.

Ia menuturkan jika Jokowi saat menolak usul perppu belum membaca naskah resminya.

"Ya saya tanya ketika presiden menolak mengeluarkan perppu itu, naskah resminya dari DPR belum dikirim ke presiden sehingga belum baca kan naskahnya diputuskan sidang paripurna itu," ujar Mahfud MD.

Kemudian Mahfud Md mengatakan presiden membahas kembali bersama tokoh lainnya.

"Setelah beliau mendalami lagi dan berdiskusi dengan kita, lalu dibukalah," paparnya.

Saat itu Mahfud MD menuturkan bahwa UU KPK hasil revisi memang telah sah secara hukum.

"Saya bilang begini, undang-undang revisi KPK itu sudah sah secara politik maupun hukum, karena sudah dibahas oleh DPR, di rapat paripurna, lalu diketok, itu sudah sah."

Ia kemudian menjelaskan bahwa secara aspek sosiologi belum tentu benar.

Lantaran hukum seharusnya dibuat bersama rakyat.

"Tetapi undang-undang yang sah itu belum tentu benar secara sosiologi. padahal hukum itu kesepakatan antara negara dengan rakyatnya untuk bersama. Ternyata rakyat itu menolak, sehingga harus disikapi suasana masif yang menolak UU KPK itu," sebutnya.

Ia menjelaskan saat itu ada tiga jalan yang didiskusikan.

"Dan penetapan itu hanya ada 3. Satu kalau mau direspons melalui legislative review jadi itu disahkan saja diundangkan, kemudian diagendakan lagi di DPR berikutnya untuk diubah lagi. Itu biasa terjadi," kata Mahfud MD.

"Ada undang-undang yang berubah 3 kali empat kali dalam satu tahun, undang-undang APBN juga berubah 2 kali. Itu enggak apa-apa."

Namun usul ini berisiko tertolak oleh DPR RI yang sejak awal yakin dengan adanya UU KPK.

"Tapi itu berisiko karena kira-kira DPR tidak setuju, jadi enggak ada gunanya kan."

Kemudian langkah kedua melalui judicial review.

Namun langkah ini juga berujung akan kembali ke langkah pertama.

"Lalu cara kedua judicial review, itu berisiko juga, MK bisa menolak karena SK itu bukan menilai UU itu bagus atau tidak, SK itu hanya menilai UU itu salah atau tidak."

"UU KPK ini salah secara konstitusi tapi bagus bagi kehidupan masyarakyat, oleh kerena itu nanti MK akan mengatakan, ya sudah diganti di legislatif saja. Seperti yang sudah-sudah," jelas Mahfud MD.

Sehingga ia menwarkan untuk melakukan political review yang dimiliki oleh Jokowi.

"Maka alternatif ketiga yang dianggap paling bagus adalah melakukan political review. Yaitu presiden mengambil keputusan secara sepihak dulu untuk kemudian diuji di legislatif pada masa sidang yang akan datang," katanya.

"Yaitu dengan mengeluarkan Peppu, pergantian uu dengan menyatakan bahwa UU ini tidak berlaku dulu, sampai waktu tertentu untuk dibicarakan dulu," sebut Mahfud MD.

Ketika Mahfud MD Bocorkan Isi Pembicaraan dengan jenderal Moeldoko Sampai Tanggapi Pasal Kontroversial RKUHP

Pakar hukum sekaligus Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD angkat bicara soal penolakan massif RKUHP.

Dilansir TribunWow.com dari tayangan Primetime News MetroTV, Rabu (25/9/2019), Mahfud MD mengaku telah bertemu dengan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko membahas polemik RKUHP.

Awalnya, Mahfud MD mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut, dihasilkan saran agar pemerintah dan DPR aktif membangun dialog.

 "Tidak usah menunggu, malah kita menyarankan bagaimana kalau pemerintah itu mengirim orang ke kampus-kampus," kata Mahfud MD.

Menurut Ketua Suluh Kebangsaan itu, dialog dengan mahasiswa sangatlah penting.

"Itu saya kira penting, karena kalau melihat situasinya, perkembangan politiknya, sebenarnya presiden juga sudah cukup responsif dengan menunda RKUHP," ujar Mahfud MD.

Mahfud MD Bocorkan Isi Pembicaraan dengan Jenderal Moeldoko Sampai Tanggapi Pasal Kontroversial RKUHP1
Mahfud MD Bocorkan Isi Pembicaraan dengan Jenderal Moeldoko Sampai Tanggapi Pasal Kontroversial RKUHP1 (Tribunnews)

Mahfud MD mengatakan penundaan itu adalah respons positif atas saran masyarakat.

"Di dalam politik itu kan tidak bisa menang-menangan secara mutlak ya," ungkap Mahfud MD.

"Di situ lah perlunya dialog, agar tidak mutlak-mutlakan," sambungnya.

Mahfud MD menyatakan, apabila dialog dan demokrasi tidak mencapai kesepakatan, maka masih ada jalur hukum yang bisa ditempuh.

Mahfud MD juga menegaskan bahwa dalam pembuatan undang-undang, masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif.

"Nah sekarang situasinya sudah begini, mahasiswa merasa kurang diajak dialog, dan sebagainya, kenapa tidak proaktif saja, apa yang dipermasalahkan," katanya.

Tanggapan soal Pasal Kontroversial

Mahfud MD juga memberikan tanggapan mengenai pasal yang dianggap merugikan masyarakat.

Awalnya, Mahfud MD mengatakan pasal-pasal itu sudah dipersoalkan sejak pembahasan pada tahun 2017.

Oleh karena itu, jika sekarang kembali didebatkan, Mahfud MD mengatakan wajar saja.

Ia kemudian menyoroti soal pasal penghinaan presiden.

Menurutnya, penghina presiden memang perlu diberi ancaman pidana.

"Kalau menurut saya, penghinaan terhadap presiden itu memang perlu diberi ancaman pidana," jelasnya.

"Karena begini, ada pasal di undang-undang itu, kalau di presiden luar negeri itu dihina oleh rakyat Indonesia, ketika berkunjung ke Indonesia, itu dijatuhi ancaman pidana."

"Masa kalau presiden sendiri tidak," sambungnya.

Meski demikian, Mahfud MD tetap memberikan catatan.

"Itu alasannya kenapa masuk, tetapi karena Mahkamah Konstitusi sudah pernah penyatakan bahwa tidak boleh ada pasal penghinaan presiden, menurut saya itu seharusnya tidak masuk."

Mahfud MD Bocorkan Isi Pembicaraan dengan Jenderal Moeldoko Sampai Tanggapi Pasal Kontroversial1
Mahfud MD Bocorkan Isi Pembicaraan dengan Jenderal Moeldoko Sampai Tanggapi Pasal Kontroversial1 (Tribunnews)

"Sehingga, penghinaan terhadap presiden itu harus masuk ranah delik aduan."

"Nah kalau sudah betul masuk di ranah delik aduan, saya kira sudah tepat secara hukum," papar Mahfud MD.

Artinya, pribadi yang sedang menjadi presiden dan wakil presiden yang mengadukan sendiri penghinaan atasnya.

"Saya kira itu sudah bagus, sudah sesuai dengan putusan MK kalau memang itu rumusannya," ucap Mahfud MD.

Lebih lanjut, Mahfud MD mengaku pernah bertemu dengan Joko Widodo (Jokowi) membahas mengenai hal tersebut.

"Ketika dulu waktu masih ramai-ramai tahun 2017 itu, saya ketemu di Istana," tuturnya.

"Bagaimana itu pak? Ini ada peristiwa masalah delik presiden, kalau Presiden Jokowi enteng saja 'Loh Pak Mahfud, ada atau tidak ada pasal itu Undang Hukum Pidana, saya sudah dihina tiap hari, tapi diam saja'," kata Mahfud MD.

Lebih lanjut, Mahfud MD menyebut jika pasal itu masih dipaksakan, ketika dibawa ke MK, maka MK bisa membatalkannya.

"Karena MK sudah pernah melarang itu, sudah pernah mengabulkan bahwa penghinaan terhadap presiden sebagai jabatan itu tidak bisa masuk di KUHP," katanya.

Simak selengkapnya dalam video di bawah ini mulai menit awal:

Dikutip dari Kompas.com, selain Mahfud MD, ada beberapa tokoh yang juga turut bertemu dengan Moeldoko.

Di antaranya ranz Magnis Suseno, Sarwono Kusumaatmadja, Helmy Faishal, Ahmad Suaedy, Alissa Wahid, A. Budi Kuncoro, Syafi Ali, Malik Madany, Romo Benny Susetyo, Rikad Bagun, Alhilal Hamdi dan Siti Ruhaini.

Dalam pertemuan itu, putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alissa Wahid memberikan saran kepada Jokowi.

Menurutnya, Jokowi harus mempertimbangkan tuntutan pendemo, lantaran sebagian pihak yang mendemo adalah pendukungnya.

"Mereka yang berunjukrasa sebagian adalah pendukung Jokowi. Presiden harus lebih peka terhadap kritik yang disampaikan," ujar Alissa Wahid, Selasa (24/9/2019).

Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Mahfud MD Beberkan Kronologi Jokowi Berubah Pikiran soal RUU KPK: Belum Baca Naskah Resminya, https://wow.tribunnews.com/2019/09/28/mahfud-md-beberkan-kronologi-jokowi-berubah-pikiran-soal-ruu-kpk-belum-baca-naskah-resminya?page=1.

Sumber: TribunWow.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved