Tribun Wiki
Perkosaan Keji 3 Pria ke Bocah Suku Baduy Jadi Trending di Google, Ini Asal Usul Baduy, dan Lokasi
Berdasarkan pantauan Tribun Timur, Sabtu (7/9/2019) berikut lima film terbaru yang sedang tayang;
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Ina Maharani
TRIBUNWIKI
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Suku baduy menjadi trending topic google, Jumat (7/9/2019).
Pembahasan yang banyak beredar tentang perbuatan keji tiga orang pemuda kepada gadis Suku Baduy.
Hal itu sontak membuat publik penasaran tentang Suku Baduy.
Bahkan gadis tersebut dibunuh.
Dilansir dari Tribun Madura, mereka meruda paksa gadis Suku Baduy lalu membunuhnya.
Meski mendapat perlawanan dari korban, namun korban tak kuasa menahan paksaan dari tiga remaja tersebut.
Parahnya, setelah membunuh, mereka tetap melanjutkan aksi bejatnya yakni menyetubuhi mayat dari gadis Suku Baduy tersebut.
Ada kejadian mengenaskan menimpa seorang gadis Suku Baduy, S, di Lebak, Banten.
Berdasarkan kronologinya, gadis usia 13 tahun itu dibunuh dan disetubuhi 3 pemuda secara keji.
Pelaku disebut sudah merencanakan akan merudapaksa gadis Suku Baduy itu.
Parahnya, di antara pemuda itu bahkan sudah menentukan siapa yang lebih dulu akan setubuhi korban.
Mereka adalah A masih 15 tahun, F dan E usianya lebih tua dari A, yakni 19 tahun.
Korban disetubuhi mereka saat sedang sendirian.
Kala itu, Jumat (30/8/2019) korban tengah memotong kayu di belakang gubuk.
Bujuk rayu seorang pelaku pun berhasil meluluhkan korban. Pelaku justru mendekati gadis Suku Baduy itu melalui modus meminjam golok.
Setelah dipinjamkan golok, pelaku makin menggila.
Mereka menyeret korban ke dalam gubuk lalu merudakpaksa S.
Saat itu, S tak tinggal diam.
Ia mati-matian melawan pelaku.
Sang gadis Suku Baduy berteriak kencang.
Namun, si pelaku malah mambacok korban memakai golok tersebut.
Melihat hal itu, S pun langsung melakukan tangkisan menggunakan tangan kanan.
Akibatnya, tangan korban terluka parah terkena bacokan.
Tak berhenti di situ, ia pun dibacok lagi sehingga terluka lagi di tangan kirinya.
Perlawanan kuat gadis Suku Baduy itu membuat pelaku semakin keji.
Pelaku membacok leher korban.
Setelah itu, S pun tewas. Tubuhnya berlumuran darah karena terluka.
Namun, pelaku tetap melancarkan rencana busuknya.
Mereka tetap setubuhi korban yang sudah tak bernyawa.
Akibat kejadian itu, kini ketiga pelaku sudah ditangkap polisi.
Satu pelaku ditangkap di Sumatera Selatan, sedangkan dua pelaku lainnya ditangkap di Lebak, Banten.
Tentang Suku Baduy
Dilansir dari wikipedia, Urang Kanekes, Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Populasi mereka sekitar 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar.
Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Baduy Dalam.
Asal usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.
Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.
Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.
Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.
Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut.
Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha.
Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati).
Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme).
Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.
Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993).
Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah.
Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan.
Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral.
Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli.
Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut.
Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.
Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik.
Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Sensus Penduduk tahun 2010
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, Suku Baduy bersama Suku Banten dikelompokan ke dalam Suku asal Banten dengan total jumlah 4.657.784 jiwa.
Etimologi
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah "Badui" dan bukan "Baduy".
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001).
Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan) suhu rata-rata 20 °C.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda.
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.
Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka.
Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka.
Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.
Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Kelompok masyarakat
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka.
Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes.
Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka.
Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa.
Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya.
Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana.
Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai.
Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI).
Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki.
Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.
Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Data Suku Baduy:
Nama: Kanekes
Baduy/Badui
Jumlah populasi: 26.000 Jiwa
Kawasan dengan konsentrasi signifikan: Kanekes, Banten, Indonesia
Bahasa: Baduy, Banten
Agama: Islam (60%), Sunda Wiwitan (40%)
Kelompok etnik terdekat: Banten, Sunda
Sumber berita: https://madura.tribunnews.com/2019/09/07/disetubuhi-tiga-pemuda-gadis-suku-baduy-tewas-dibacok-pakai-goloknya-sendiri-aksi-keji-berlanjut?page=all
Foto: Kompas.com/Anggita Muslimah
Suku Baduy