Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Di Kampus di Makassar Ini, Pemukulan Sudah Jadi Hal Biasa hingga 1 Mahasiswa Tewas

Di kampus di Makassar ini, pemukulan sudah jadi hal biasa hingga 1 mahasiswa tewas. Update kasus pembunuhan terhadap

Editor: Edi Sumardi
KOMPAS.COM
Ilustrasi pemukulan 

TRIBUN-TIMUR.COM - Di kampus di Makassar ini, pemukulan sudah jadi hal biasa hingga 1 mahasiswa tewas.

Update kasus pembunuhan terhadap taruna Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan atau ATKP Makassar.

Terdakwa kasus pembunuhan taruna ATKP Makassar Aldama Putra Pongkala, Muhammad Rusdy mengatakan, saat masih menjadi taruna junior, ia pernah dipukuli seniornya.

Rusdy mengatakan, aksi pemukulan merupakan hal biasa di kampusnya.

"Jadi dipukul sudah terbiasa di kampus saya, karena saya sering dipukul. Terbiasa dipukul seperti militer," kata Rusdy saat ditanya oleh Ketua Majelis Hakim Suratno, di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (10/7/2019).

Rusdy mengatakan, dirinya terpaksa melakukan pemukulan karena menurutnya Aldama melakukan pelanggaran.

Namun, ia mengakui bahwa tindakan yang dilakukannya murni karena dia sebagai senior.

Rusdy menyampaikan, pemukulan itu karena Aldama tidak memakai helm saat masuk ke kampus ATKP.

Namun, Rusdy mengakui tidak memiliki kewenangan untuk memukul Aldama.

"Memperingatkan agar tidak mengulangi karena dia tidak pakai helm masuk kampus," katanya.

Sebelumnya diberitakan dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum Tabrani, Rusdy dinyatakan melakukan penganiayaan yang berujung tewasnya Aldama.

Penganiayaan terjadi setelah dia melihat juniornya itu tiba di ATKP dengan tidak menggunakan helm saat dibonceng ayahnya, Minggu (3/2/2019).

Rusdy didakwa Pasal 338 KUHP subsider Pasal 354 Ayat 2 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Wajah Penganiaya

Inilah wajah mahasiswa ATKP Makassar, Muhammad Rusdy yang menganiaya juniornya hingga tewas, Aldama Putra Pangkolan.

Diduga hanya gara-gara helm, Muhammad Rusdy (21) tega menganiaya hingga mengakibatkan juniornya, Aldama Putra Pangkolan (19) tewas.

Kasus penaniayaan yang mengakibatkan Aldama Putra Pangkolan, taruna di Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan atau ATKP Makassar meninggal, terjadi pada Minggu (3/2/2019).

Kini, jenazah Aldama Putra Pangkolan disemayamkan di rumah duka, Jalan Leo Watimena 4 nomor 5, kompleks Landasan Udara (Lanud) Hasanuddin, Makassar, Sulsel.

Muhammad Rusdy
Muhammad Rusdy (DOK PRIBADI)

Kapolrestabes Makassar,Kombes Pol Wahyu Dwi Ariwibowo mengungkapkan, hasil pemeriksaan pelaku menganiaya karena pelanggaran tidak pakai helm.

"Pelaku memanggil korban, diarahkan ke salah satu kamar senior. Di situlah terjadi penganiayaan," kata Kombes Pol Wahyu Dwi Ariwibowo di Mapolrestabes, Selasa (5/2/2019) sore.

Muhammad Rusdy
Muhammad Rusdy (DOK PRIBADI)

Akibat perbuatan Muhammad Rusdy menganiaya Aldama Putra Pangkolan dengan cara memukul dibagian dada dan tubuh. 

Aldama Putra Pangkolan, putra sulung dari Pelda Daniel itu meninggal dunia.

Pihak penyidik Satreskrim Polrestabes Makassar pun menetapkan Muhammad Rusdy tersangka dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal.

Ayah: ATKP Bilang Jatuh di Kamar Mandi

Keterangan berbeda soal penyebab kematian Aldama Putra Pangkolan disampaikan Pelda Daniel.

Menurut Pelda Daniel, pihak ATKP mengatakan, Aldama Putra Pangkolan menghembus nafas terakhir setelah terjatuh dari kamar mandi.

Namun, fakta di lapangan, menurut Pelda Daniel, putra semata wayangnya itu tewas setelah menderita beberapa bekas luka di bagian wajahnya yang diduga akibat penganiayaan.

"Saya ditelpon malam-malam oleh pengasuh anak saya di ATKP, katanya bisa merapat ke RS Sayang Rakyat soalnya anak saya ( Aldama Putra Pangkolan) katanya jatuh. Jadi, awalnya perkiraan saya hanya luka atau patah. Pas saya tiba (di RS Sayang Rakyat), saya disambut pelukan dan berkata, 'Bapak yang sabar ya. Kami sudah berusaha, tapi apa daya.' Di situlah saya langsung seperti tidak bisa berkata-kata lagi karena di pikiran saya anak saya sudah meninggal," tutur Pelda Daniel.

Pelda Daniel yang syok mendengar kabar anaknya telah tiada, pun berusaha tegar dan menenangkan diri.

"Beberapa saat, saya diberi air putih minum, saya bilang, ' Bisa saya lihat anak saya? Jadi saya diantar masuk ke UGD dan melihat anak saya sudah diselimuti," ujar Pelda Daniel bernaada sedih.

Ia pun membuka kain penutup jenazah anaknya dan melihat lansung wajah Aldama Putra Pangkola.

"Saya buka kainnya, saya lihat awajahnya banyak luka-lukanya di kepalanya, di pelipis dan di bawah matanya," ujar Pelda Daniel.

Dia pun menanyakan ke pengasuh Aldama Putra Pangkolan di ATKP, terkait penyebab kematian putranya.

Namun, kata Pelda Daniel, pihak ATKP Makassar berusaha menutupi kasus penganiayaan yang menewaskan putranya dengan berkata "Terjatuh di kamar mandi".

"Saya tanya, anak saya ini mati karena apa. Dari ATKP, pengasuhnya itu bilang anak saya jatuh di kamar mandi," kata Pelda Daniel.

Jawaban pihak ATKP tidak diterima Daniel, lantaran kondisi Aldama Putra Pangkolan yang mengalami sejumlah luka di wajahnya.

"Jadi informasi-informasi ini seolah menutupi mereka punya ini, jadi saya berharap kalau bisa jangan seperti ini, berbohong menutupi kasus ini, makanya saya tidak percaya anak saya jatuh di kamar mandi," kata Pelda Daniel.

Pelda Daniel begitu meyakini anaknya tewas dianiya lantaran melihat sejumlah luka yang diderita anaknya.

"Saya tahu betul anak saya itu dianiaya, wong saya rasakan kok waktu pendidikan seperti apa penganiayaan itu," ujar prajurit TNI AU itu.

Pelda Daniel pun berharap agar pihak ATKP Makassar lebih meningkatkan pengawasan terhadap taruna-taruninya agar tidak bernasib sama yang dialami Aldama Putra Pangkolan.

"Harapan saya ke pihak kampus ( ATKP Makassar) tingkatkan pengamanan di dalam, baik ke taruna taruninya, maupun pengasuhnya, supaya tindak kekerasan di dalam itu berkurang dan kalau bisa tidak ada lagi," ujar Pelda Daniel.

Pelda Daniel berharap, kasus kematian Aldama Putra Pangkolan akibat penganiayaan tidak lagi terjadi di masa-masa mendatang.

"Cukuplah anak saya ( Aldama Putra Pangkolan) yang seperti ini, jangan lagi ada generasi-generasi berikutnya yang menjadi korban seperti ini," kata Pelda Daniel.

ATKP Makassar Berbelasungkawa

Pihak ATKP Makassar berbelasungkawa atas tewasnya Aldama Putra Pangkolan.

"Tentu kami merasa sangat kehilangan yang mendalam atas kepergian ananda Aldama," kata Pembantu Direktur ATKP Makassar, Irfan kepada Tribun Timur, Selasa.

Walau mengaku kehilangan, Irfan tidak mau menjelaskan banyak soal kejadian penganiayaan menyebabkan Aldama Putra Pangkolan meghembuskan nafas terakhir.

"Tentu kami sampai saat ini merasakan kehilangan, kasus seperti ini baru kali ini terjadi. Kami tidak bisa jelaskan banyak  karena polisi sudah tangani," jelasnya.

Pengamat: Kita Prihatin

Menanggapi kejadian tersebut, pengamat pendidikan tinggi, Arismunandar mengaku prihatin dengan masih adanya tindakan senioritas yang berujung pada kematian.

"Kita prihatin sekaligus berduka cita. Fenomena seperti ini, akhir-akhir ini banyak terjadi di institusi yang bersifat kedinasan dan menerapkan cara militeristiik dalam pola pembinaan kahasiswaan," kata Arismunandar, mantan Rektor Universitas Negeri Makassar ( UNM).

"Sebenarnya itu harusnya baik, cuma sistem senioritas itu menjadi masalah, itu dipupuk dan dilestarikan. Ditanamkan superioritas senior terhadap junior yang menyebabkan kekuasaan senior menjadi tak terkendali, celakanya jika itu tak ada kontrol dari manajemen perguruan tinggi," katanya menambahkan.

Lebih lanjut, Arismunandar mengatakan, kejadian seperti ini biasanya di luar kendali manajemen suatu perguruan tinggi, yang seharusnya mampu mengawasi setiap aktivitas mahasiswa atau tarunanya.

"Biasanya jika ada kejadian begini, itu diluar pengawasan dari manajemen perguruan tinggi. Mungkin di luar kontrol, apakah sore atau malam, biasanya seperti itu. Kalau ada pengawasan rutin, pasti tak akan terjadi. Kedua, bukan cuma pengawasan tapi juga penindakan terhadap penyalahgunaan senioritas itu. Saya yakin peristiwa begini bukan sekali atau dua kali terjadi, ini turun temurun dan menjadi budaya baru dalam perguruan tinggi," kata menjelaskan.

Menurut Arismunandar, sistem pembinaan mendisiplinkan mahasiswa dengan cara keras itu yang menjadi masalah, meskipun sebenarnya sejauh masih dalam batas kemampuan masih bisa diterima.

"Tapi kalau sudah sampai meninggal itu berarti sudah di luar batas kewajaran. Ada kesan bahwa pembinaan itu sudah melampaui batas kewajaran dan kepatutan. Pasti tak ada satupun aturan akademik yang membolehkan seperti itu, pasti norma ATKP juga sudah standar, tapi sekali lagi bahwa ini terjadi karena ada unsur penyalahgunaan otoritas kewenngan senior terhadap juniornya. Di ksus lain, biasanya kan cuma masalah sepele yang dilakukan junior yang berakibat pada sanksi keras," katanya.

Seharusnya perguruan tinggi menghilangkan tradisi kekerasan atau senioritas, dan selalu terlibat dalam aktivitas mahasiswanya.

"Misalnya penerimaan majasiswa baru, tak lagi memberi peran kepada mahasiswa atau senior. Penerimaan mahasiswa baru ditangani institusi, dalam artian yang memimpin kegiatan itu adalah kampus, mau itu melibatkan mahasiswa senior itu tak masalah, tapi perlu memberi batas peran sewajarnya kepada senior," katanya.

"Pertanyan sekarang kalau ada kejadian seperti ini, siapa yang mau bertanggung jawab, kalau pola yang saya sebut, kita bisa tagih tanggung jawab rektor atau siapapun yang memimpin. Kalau begini, di luar kendali sistem, siapa yang mau disalahkan, yah pasti oknum," katanya lebih lenjut.(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved