Kisah 'Nenek Muda' Naya, Nikah Siri di Usia 6 Tahun, Bercerai di Usia 13 Tahun saat Pernikahan Kedua
Inilah kisah Naya di Probolinggo yang menikah siri di usia 6 tahun, pernah bercerai di usia 13 tahun kala hamil, dan kini sudah memiliki cucu
Masih di desa yang sama, Sulastri (kini 30 tahun) menjalani kisah pernikahan usia dini yang tak jauh berbeda.
Dia juga diminta orangtuanya untuk berumah tangga saat masih remaja usia 15.
Sulastri dinikahkan dengan teman sebaya dan tak lama kemudian dikaruniai seorang putri.
Sulastri menuturkan, di desanya, anak-anak atau remaja yang sudah dinikahkan lazim tinggal di rumah orangtua.
Setidaknya begitulah yang dia dan Naya jalani.
"Beda dengan orang kota, anak kalau menikah biasanya keluar dari rumah orang tua. Kalau di desa saya enggak begitu. Biasa itu kita habis menikah masih ngumpul di satu rumah," tutur Sulastri.
• Pasang Tarif Seikhlasnya untuk Jasa Tambal Ban Online-nya di Solo Raya, Ini Penjelasan Sudaryadi
Kisah Naya dan Sulastri adalah cerminan dari 11,2 persen anak Indonesia yang masih menjalani pernikahan usia dini.
Adanya berbagai pemahaman agama, budaya dan juga tradisi menjadi faktor pendukung di balik fenomena ini.
Faktor lainnya termasuk kondisi ekonomi dan pendidikan yang minim.
Menurut laporan terbaru LSM Save the Children (STC), fenomena pernikahan anak di dunia menurun 25 persen atau 11 juta anak dalam dua dekade terakhir.
Laporan itu menyebutkan, peranan perempuan berkontribusi cukup besar dalam penurunan angka pernikahan anak.
Tata Sudrajat dari STC Indonesia mengatakan perempuan menjadi lebih aktif di dalam lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat.
Perempuan dalam hal ini, sebut Tata, adalah ibu dari anak yang berpotensi melakukan pernikahan usia dini.
Menurutnya, selama ini, keputusan untuk melakukan pernikahan anak diperkuat oleh kaum ibu meskipun sebenarnya secara umum pihak ayah sebagai kepala rumah tangga yang mengambil keputusan.
"Tapi ayah hanya dipersepsikan pencari nafkah. Untuk beberapa urusan terkait rumahtangga termasuk anak, biasanya ibu."
Tata tak memungkiri, masih banyak orangtua yang menganggap pernikahan sebagai bagian dari mengatasi kesulitan mereka atau menganggap hal itu sebagai solusi dari beban orangtua.