Citizen Reporter
PSBM Bukan Kelompok Arisan, Dana Abadi KKSS Semakin Terkuras, Ngeri!
Ketua Umum BPP KKSS, Sattar nyaris tidak punya waktu memikirkan PSBM itu, karena memikirkan kemajuan KKSS pun nyaris tidak.
Sekali Lagi, PSBM Bukan Kelompok Arisan. Ini kelakuan Sattar Taba selama memimpin BPP KKSS

Oleh Mulawarman
Wartawan Senior
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) terjadi lagi di Makassar. Kali ini digelar di wisma Negara, CPI,16 Juni 2019. Ini kali ke-19 PSBM terjadi setelah tahun 1994.
Sejauh ini keberadaan organisasi yang menghimpun para pebisnis asal Bugis-Makassar-Mandar dan Toraja dari perantauan, ini masih dominan menonjolkan seremonial tahunan dibanding menyentuh pokok persoalan ekonomi yang urgen.
Tak bisa dipungkiri, masyarakat memang sangat menaruh harapan besar bagi kehadiran para saudagar yang terorganisir lewat pertemuan rutin tahunannya itu, akan tetapi roh dari pertemuan tersebut masih jauh dari kerinduan perubahan.
Sebagai pemerhati masalah sosial, saya tidak skeptis memandang PSBM, saya justru melihat peluang yang terbuka untuk membawa perubahan dengan kehadiran PSBM, namun mereka yang memimpin organisasi “raksasa” dagang dari timur itu belum mampu menjodohkan kepentingan yang bermuara pada multiflier efec bagi sumber daya anggotanya.
Di suatu kesempatan buka puasa terbatas dengan sejumlah tokoh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) di Hotel Grand Melia Jakarta, pekan kedua bulan suci Ramadhan lalu, seorang teman lama di Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawasi Selatan (BPP KKSS) yang turut hadir, meminta saya untuk menulis pertemuan rutin para saudagar Bugis Makassar yang akan dibuka 16 Juni di Makassar.
Untuk tulisan itu, esok harinya penulis mendatangi seorang teman lama, mantan wartawan Harian Singgalang di gedung Gerakan Ekonomi dan Budaya (Gebu) Minangkabau, di Jalan KH Abdullah Syafei, Manggarai, Jakarta Selatan.
Teman penulis ini, salah satu pengusaha konveksi di Cilengsi Bogor, pemasok busana muslim wanita terbesar di Jakarta, khususnya di pasar Tanah Abang dan ITC Mangga Dua Jakarta. Dari pertemuan itu saya menemukan sesuatu yang patut menjadi contoh buat PSBM.
Gebu Minang, organisasi masyarakat asal Minang didirikan di tahun 1989 oleh sejumlah tokoh masyarakat Minang di perantauan, seperti Aswar Anas, Emil Salim, Bustanul Arifin dan budayawan AA Navis. Tujuannya, menghimpun dan membina potensi masyarakat Minang yg ada di Perantauan di seluruh wilayah di Indonesia dan di manca negara.
Ada sekitar 20 staf karyawan yg terlihat aktif menjalankan tugasnya di lantai satu kantor Gebu Minang. Di meja mereka, terlihat tumpukan berkas atau dokumen, dengan komputer yang terus menyala dan di layarnya terlihat menampilkan data statistik.
“Udaaa (kakak), PIK (Pusat Industri Kecil) Cakung kekurangan kulit Sapi kering 150 ton,” teriak seorang staf wanita di kantor Gebu Minang itu kepada seorang pria setengah baya yang dipanggil Uda. Staf wanita itu lalu menambahkan, kalau permintaan sepatu dan sandal kulit dari laporan Harian Bisnis Indonesia, trendnya naik jelang lebaran.
Pria yg disapa Uda itu, balik dengan suara keras pula, menjawab agar staf wanita yg berteriak itu segera mengontak beberapa pengumpul kulit di sekretariat Gebu Minang di wilayah Jakarta.
Tidak berapa lama, ada teriakan lagi seorang staf wanita lainnya, dia menyampaikan kabar kalau korban penggusuran kakilima di Tega Lega Bandung diantaranya ada 41 orang pedagang kakalima asal Minang yang ikut digusur. “Sekretariat Bandung belum bisa maksimal membantu, apa sekretariat Jabar dikontak untuk membantu memaksimalkan bantuan Bandung ?,” kata staf wanita itu lagi yang kemudian diminta mengontak seorang bernama Rizal di Pemkot Bandung.
Hairil, teman penulis melihat penulis terpaku menyaksikan pemandangan suasana kantor Gebu Minang itu, mengomentari kalau suasana kantor Gebu Minang itu, sehari-harinya seperti itu.