Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - Narkoba di Balik Sesak Penjara

Polri melansir peredaran narkotika sembilan puluh delapan persen dikendalikan dari balik jeruji penjara oleh mereka (KBN Antara, 15/7/18).

Editor: Aldy
zoom-inlihat foto OPINI - Narkoba di Balik Sesak Penjara
handover
Muhammad Hatta

dr Muhammad Hatta MPH
(Dokter Balai Rehabilitasi BNN Baddoka Makassar)

Sedang terjadi krisis kapasitas di penjara kita.

Tahun lalu, lapas maupun rutan yang berkapasitas 126.519 buah malah disesaki 255.231 penghuni yang berarti terjadi kelebihan kapasitas 102 persen (Data SDP Ditjenpas, Desember 2018).

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berencana akan mengurangi over populasi tersebut dengan cara memindahkan 45 ribu dari 111 ribu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) kasus narkotika ke pusat-pusat rehabilitasi.

Utamanya WBP yang berstatus pengguna belaka. Mereka memang telah menjadi momok kronis peredaran narkotika selama bertahun-tahun.

Polri melansir peredaran narkotika sembilan puluh delapan persen dikendalikan dari balik jeruji penjara oleh mereka (KBN Antara, 15/7/18).

Keamanan vs Kesehatan
Sesuai Pasal 54 Undang Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial di tempat-tempat yang telah ditentukan.

Ini diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04/2010 tentang Kriteria Penempatan Pecandu/Korban Narkotika ke dalam Tempat Rehabilitasi.

Baca: Satu Pejabat Tak Lapor, Kota Parepare Gagal 100 Persen Kepatuhan LHKPN

Kedua aturan tersebut menyatakan pemerintah condong mengambil pendekatan kesehatan (rehabilitatif) ketimbang pendekatan keamanan (penahanan/pemenjaraan).

Namun pelaksanaan di lapangan ibarat pepatah ‘jauh panggang dari api’. Aturan-aturan yang dikeluarkan setelahnya malah terkesan bertabrakan satu sama lain.

Sebut saja Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 yang justru mengetatkan proses pemberian remisi bagi Tahanan Kasus Terorisme, Korupsi dan Narkotika.

Kekeliruan mendasar dari PP ini adalah membatasi pemberian pembebasan bersyarat, remisi dan asimilasi dengan hanya memandang pelaku tindak pidana semata berdasar kasus, tanpa melihat kondisi yang melingkupi serta bobot tindak pidana yang dilakukan (ICRJ, 2017).

Pasal 34 ayat (1) huruf (a) PP tersebut yaitu “bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya” sulit dilaksanakan mengingat penyalahgunaan narkotika bukan merupakan suatu tindak terencana dan terorganisir (Anggara, 2013).

Di sisi lain, para terpidana narkoba lebih senang masuk penjara (karena masa hukuman bisa lebih singkat) ketimbang rehabilitasi yang memakan waktu 3-6 bulan.

Penjara juga menjadi ’surga’ tatkala jatuh sakit sebab narapidana/tahanan ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved