Buku Ramang Macan Bola - Asal Muasal Munculnya Istilah Toami Ramang dan Anak Seorang Paraga (2)
Buku Ramang Macan Bola - Asal Muasal Munculnya Istilah Toami Ramang dan Anak Seorang Paraga (2)
Penulis: Arif Fuddin Usman | Editor: Arif Fuddin Usman
Buku Ramang Macan Bola - Asal Muasal Munculnya Istilah Toami Ramang dan Anak Seorang Paraga (2)
TRIBUN-TIMUR.COM - Mungkin tidak ada nama yang sangat diingat orang mulai dari anak-anak hingga dewasa seterkenal Ramang. Terlebih jika mereka berbicara sepakbola.
Zaman keemasannya selalu menjadi rujukan perihal keperkasaan tim yang diperkuatnya, PSM, Jika seseorang menggiring si kulit bundar, dari pinggir lapangan para pemonton akan berteriak ‘Ramang!!!!! Ramang!!!’
Padahal, mungkin mereka tidak pernah melihat Ramang itu sendiri. Termasuk, bagaimana kelincahannya di lapangan hijau.
Baca: Prakata dan Latar Belakang M Dahlan Abubakar Tulis Buku Legenda PSM Makassar: Ramang Macan Bola (1)
Baca: Polsek Biringkanaya Selidiki Pembusuran di Jl Dg Ramang Makassar
Persatuan Sepakbola Makassar (PSM) yang pernah diperkuatnya, identik dengan nama pria yang satu ini. Makanya, kini, kesebelasan ‘Ayam Jantan dari Timur’ itu kerap dijuluki ‘Pasukan Ramang’.
Nama itu menggurita hanya dari mulut ke mulut. Anak-anak itu mungkin hanya mengenal namanya melalui informasi dari media elektronik, khususnya radio.

Pada masa awal tahun 60-an, saat benda atau kotak bergambar bergerak/hidup dan bersuara yang bernama televisi (TV) – yang memungkinkan orang dapat menyaksikan siaran langsung seperti sekarang ini – belum dikenal orang di republik ini.
Namun orang sudah mengenal nama Ramang. Ketika orang berbicara bahwa seseorang sudah masuk kategori uzur atau lansia, ikonnya selalu pada seorang Ramang. Tidak pada nama lain, Siapa pun dia,
Kalimat Jadi Ikon
“Toa mi Ramang,” begitu setiap orang saat mengetahui setiap menganalogikan seseorang yang sudah menurun prestasinya.
Kalimat pendek ini bermakna ‘Ramang sudah tua’. Anehnya, hingga Ramang meninggal (1987) orang masih menyebut kalimat dengan ikon tersebut.
Apa pasal? Sudah bisa ditebak, belum pernah ada orang di jazirah Sulawesi Selatan, bahkan di Indonesia sekalipun, yang menjadikan nama seseorang menjadi simbol kekuatan (untuk Ramang dalam cabang olahraga sepakbola).
Baca: Sisa 1 Hari! rekrutbersama.fhcibumn.com Sulit Diakses, Ini Link Alternatif Rekrut Bersama BUMN, Gaji
Baca: Kapolres Pangkep Juga Kecam Aksi Penembakan di Masjid Christchurch Selandia Baru
Ini sangat melegenda. Mengapa orang tidak mengatakan ‘Toa mi Soeharto’ atau ‘Toa mi Suwardi atau Noorsalam’, dua dari trio PSM yang sangat fenomenal itu bersama Ramang ketika jaya-jayanya di PSM.
Inilah buktinya bahwa nama Ramang memang mematri dalam benak sekian banyak orang. Analogi itu, masih terdengar hingga sekarang.
Bahkan anaknya, Anwar Ramang, pernah mengoreksi secara kelakar kepada seseorang yang masih mengatakan ‘Toa mi Ramang’ untuk mengibaratkan dirinya sudah tua. Ayah empat anak ini langsung menimpali sembari berkelakar.
“Mate mi, Sekarang, Anwar Ramang yang tua, Soalna anjo (soalnya itu), Oher-ka (ayah itu),” kata Anwar.
“Tena pa ruana kamma-kammane. “Tenapa ruana ri lino (tidak ada duanya sekarang ini. Tidak ada duanya di dunia),” lanjutnya.
Hebatnya orang menilai kalau seperti itu. Djamiat Dalhar yang pernah melatih Anwar Ramang di tim junior PSSI mengatakan, untung kalau dalam 100 tahun lagi ada pemain sekelas Ramang.
Kalau sudah bawa bola, kata Djamiat --seperti dikemukakan Anwar, si kulit bundar itu bagaikan diperintah agar tidak jauh dari jangkauan kakinya.
Anak Paraga
Bakat Ramang bermain bola konon turun dari sang ayah, Nyo’lo. Tidak banyak informasi mengenai lelaki yang menjadi ayah dari Ramang ini.
Dalam banyak tulisan yang penulis kutip, ada yang menyebutkan, Nyo’lo adalah ajudan Raja Gowa Djondjo Karaengta Lembangparang.
Baca: Soal Penembakan di Selandia Baru, Ketua Hipmus Toraja Utara: Itu Kekerasan Ekstrem
Baca: Stadion Ramang Ditolak, Ketua KNPI Barru Minta DPRD Kaji Ulang
Namun hasil penelusuran penulis lainnya dalam berbagai kepustakaan, tidak ada nama Djondjo Karaengta Lemparang, yang raja Gowa, kecuali memiliki keturunan Karaeng Lembangparang.
Menurut Rauf, putra kedua Ramang, ada saudara ayahnya (Nyo’lo) yang juga bekerja di bawah kekuasaan Djondjo, tetapi dia tak tahu namanya.
Yang Rauff ingat, pamannya bertindak sebagai hulubalang raja. Kalau raja mau ke mana-mana, pamannya itulah yang berada`di depan. Dia berperan sebagai pembuka jalan.

Sekaligus memberitahu setiap orang bahwa raja akan melewati suatu jalan. Kalau istilah zaman sekarang voorijders. Tetapi dulu, belum ada kendaraan khusuus seperti sekarang patroli jalan raja seperti ini.
Memang ada beberapa nama keturunan Lemamparang di lingkup Kerajaan Gowa. Dikutip dari buku Zainuddin Tika, dkk. (lihat Profil Raja-Raja Gowa, Pustaka Refleksi, 2007) menyebutkan, Raja Gowa ke-31, I Mappatunru Karaeng Lembangparang yang berkuasa antara tahun 1816-1825 dan wafat pada tahun 1825. Dia kemudian digantikan putranya bernama La Oddanriu Karaeng Katangka.
Raja berikutnya (ke-32), I Kumala Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid bergelar Tumenanga ri Kakuasanna yang dilantik pada tahun 1844 dan wafat 30 Januari 1893.
Baca: AGH Sanusi Baco Berkunjung, Gubernur Nurdin Abdullah Janjikan Kantor Baru MUI Sulsel
Baca: Foto-foto Masa Lalu Brenton Tarrant Penembak di Masjid Al Noor Selandia Baru, Pengakuan Mantan Bos
Raja Gowa ke-34 yang menggunakan sapaan Lembangparang adalah I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang bergelar Sultan Huzain Tumenanga ri Bundu’na.
Ia wafat Desember 1906 dalam suatu serangan yang dilakukan Belanda di Sidenreng. Dia sebenarnya lolos dari serangan itu, tetapi dalam pelariannya, terperosok masuk jurang hingga menemui ajalnya. Jenazahnya berhasil ditemukan Belanda beberapa hari kemudian.
Nama Djondjo Karaeng Lembangparang penulis temukan di dalam buku Mayjen TNI (Purn.) Andi Mattalatta, Meniti Siri’ dan Harga Diri, Catatan dan Kenangan, 2003, yang dtierbitkan Khasanah Manusia Indonesia, Jakarta.

Di dalam buku itu disebutkan, Djondjo Karaeng Lembangparang adalah Raja Barru ke-18 dari Mahmud Karaeng Berroanging Tomarilaleng Kerajaan Tallo, Bataritojang, Raja Barru ke-16.
Raja ini sebenarnya masih memiliki hubungan dekat dengan Raja Gowa ke-33, I Mallingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka.
Sebab, Bataritojang tidak lain adalah putri dari Raja Gowa ke-33 tersebut yang kemudian diangkat sebagai Raja Barru ke-16.
Sembari menjadi ajudan Raja Barru ke-18 tersebut, Nyo’lo mengembangkan kepiawaiannya bermain raga. Satu cabang olahraga yang memang lahir dari jazirah Sulawesi Selatan.
Maka, satu kehebatan Nyo’lo yang diingat orang, adalah sebagai jagoan sepak raga (bola rotan) atau dikenal sebagai pa’raga. Nyo’lo memiliki tiga orang anak, seorang perempuan dan dua laki-laki. Ramang anak bungsunya. (*)