Gempa dan Tsunami di Palu Donggala
Cerita Adi Pratama Saat Detik-Detik Gempa dan Tsunami di Sulteng
Setelah air laut naik pertama, dia memberanikan diri untuk turun gunung karena harus ke gunung sebelah mengambil Gibran.
Penulis: Abdul Azis | Editor: Suryana Anas
Laporan Wartawan Tribun Timur, Abdul Aziz Alimuddin
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Adi Pratama Negara, warga Donggala, Sulawesi Tengah, menceritakan detik-detik terjadinya gempa dan tsunami yang mengguncang Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala), Sulawesi Tengah.
Adi adalah saksi mata bagaimana gempa mengguncang dan tsunami menyapu bangunan-bangunan di Pasigala.
Awalnya, cerita Adi, ia baru saja habis berolaraga ringan. Usai berolaraga, ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia melihat kedua anaknya, ST Alea dan Gibran di ruang tamu. Gibran adalah anak kedua, dari dua bersaudara.
"Kira-kira setengah enam saya masuk rumah. Saya mau mandi kan, baru itu salat Magrib, tapi saya duduk-duduk dulu dalam rumah. Isap rokok sebatang sebelum mandi," cerita Adi, Jumat (19/10/2018).
"Pas saya masuk kamar mandi, baeeh, goncangan keras sekali sudah. Untung tong anak saya berkumpul di ruang tamu. Biasanyakan mereka pergi main-main di luar, tapi ini dia di dalam rumah. Kejadian pas habis azan magrib," tambah Adi.
Jadi, kata Adi, saya pasang kembali baju baru ambil anak-anak sudah. Saya bilang gempa nak, goyang tanah. Saya ingat perkataan ayah. Dia bilang, kalau goyang tanah kamu ke belakang rumah, jangan kedepan. Rumah saya di depan tinggi. Takutnya rubuh, rumah bertingkat dua di depannya.
"Belakang rumah saya itu langsung laut, jadi ada balkon rumah, teras, lalu laut sudah. Jadi dari kamar saya ke belakang itu kira-kira 30 meter. Goncangan 15-30 detik, goncangannya sangat keras. Tegel di rumah itu meledak-ledak kan pecah. Saya lihat samping kiri rumah itu gunung sudah longsor," jelasnya.
"Jadi saya bilang kiamat-mi ini. Saya Allahuakbar tidak tahu berapa kali. Saya sampai-sampai menangis. Lantai itu terbelah, pecah semua tegelnya. Setelah goncangan berhenti, saya lihat ke laut itu pesan orangtua kan. Airnya tenang-tenang. Setelah itu saya ambil anakku, istriku (Gusma) sudah duluan naik motor ke gunung, saya lari-lari keluar jauhi rumah sekitar 80 meter arah ke gunung," jelasnya.
Pas air laut naik, kata Adi, dia sudah tidak di rumah lagi dan sudah sama keluarga dikaki gunung. Waktu lari, kata Adi, dia dijalan berteriak-teriak sambil takbir.
"Saya dari pantai, saya tinggal di pinggir pantai, ayo lari, lari naik kegunung. lari naik. Tapi saat lari, Gibran ke gunung sebelah, ternyata sama sepupunya lari di gunung sebelah. Jaraknya lima kiloan. Saya tetap gendong yang satu. Adiknya itu di gunung sebelah," jelas Adi.
"Setelah sampai kaki gunung. Allahuakbar, goyang tanah lagi. Saya lari lagi sampai tiga kilo lagi. Pokoknya kalah-kalah itu kalo cuma dikejar anjing lariku. Kencang sekali," kata Adi.
Adi mengatakan, setelah air laut naik pertama, dia memberanikan diri untuk turun gunung karena harus ke gunung sebelah mengambil Gibran.
"Sekitar jam 7 malam baru saya dapat anakku karena dia di gunung sebelah. Saya pisah sejamlah. Saya beranikan diri pergi ambil anakku karena ibunya sudah menangis terus, pokoknya harus ada anaknya dua-dua didekatnya," ujar Adi.
"Air laut yang naik pertama masih bisa naik motor orang, makanya saya pinjam motor untuk ke gunung sebelah. Saya berlomba-lomba saja dengan air laut, karena kalau ke gunung sebelah itu harus lewati lagi dibawah (dataran rendah) yang saya tempat lari," katanya.