Gempa Hari ini di Situbondo & Gonggongan Anjing-anjing itu, Apakah Suatu Kebetulan atau Pertanda?
Dalam waktu bersamaan, saya mendengar anjing-anjing di sekitar rumah seperti dipandu, menyuarakan “koor” gonggongan yang lantang
TRIBUN-TIMUR.COM - Gempa pada Kamis (11/10/2018) dini hari yang berpusat di perairan Kabupaten Situbondo (Jawa Timur), begitu terasa di kamar tempat tinggal saya di Denpasar Timur, Bali.
Awalnya guncangan masih terasa ringan, lalu tiba-tiba kaca jendela terdengar bergetar yang menandakan guncangan akibat gempa bertambah kuat.
Dalam waktu bersamaan, saya mendengar anjing-anjing di sekitar rumah seperti dipandu, menyuarakan “koor” gonggongan yang lantang selama beberapa saat.
Ramai suara gonggongan itu seakan mengiringi langkah saya dan sejumlah orang berlarian keluar rumah untuk menyelamatkan diri.
Setelah guncangan gempa reda, saya mulai berpikir tentang gonggongan anjing tersebut: apakah itu suatu kebetulan, artinya sekitar pukul 02.57 Wita dinihari itu memang jadwal anjing-anjing itu untuk menggonggong secara kolektif, atau adakah hubungan antara gonggongan anjing itu dengan gempa?
Saya tiba-tiba teringat apa yang diceritakan oleh Cesar Milan dalam bukunya Cesar’s Way yang ditulis bersama Melissa Jo Peltier (Random House, 2006).
Berdasarkan keterangan para saksi mata yang dikutip Cesar dari sejumlah berita terpercaya, disebutkan bahwa satu jam sebelum tsunami menerjang Aceh dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara dan Selatan pada 26 Desember 2004, terjadi peristiwa yang tidak biasa di sana.
Gajah-gajah jinak yang biasa ditunggangi untuk wisata, tiba-tiba mulai bersuara seperti meratap dan bahkan berusaha melepas rantai yang mengikat kakinya, diantaranya hingga terputus, dan kemudian lari.
Sebelum tsunami menyapu, di seluruh kawasan terdampak di Asia Tenggara dan Selatan itu dilaporkan bahwa aneka satwa di kebun binatang (zoo) lari ke tempat berlindungnya (shelter) dan tidak mau keluar.
Anjing-anjing di rumah mengonggong dan ratusan satwa liar di Taman Nasional Yala Srilanka –seperti leopard, harimau, gajah, rusa, celeng, kuda nil dan kera— berlarian ke tempat yang lebih tinggi untuk mencari aman.
Menurut Cesar, ini adalah keajaiban alam, yang menggambarkan dengan jelas betapa kuat bekerjanya bahasa energi di dunia binatang. Binatang mampu membaca energi Alam, termasuk energi dari aktivitas Bumi.
Sejumlah buku, termasuk anekdot-anekdot yang terkait sejarah, juga mengisahkan tentang bagaimana anjing mampu “memprediksi” gempa, atau kucing yang tiba-tiba bersembunyi di gudang bawah tanah berjam-jam sebelum datangnya tornado.
“Energi sesungguhnya merupakan ‘bahasa’ komunikasi makhluk hidup, bahkan meskipun hal itu tak disadarinya,” demikian tulis Cesar di bukunya.
Pada dasarnya, semua binatang dilahirkan dengan sudah mengetahui ‘bahasa’ tersebut secara instingtif, secara naluriah.
Bahkan manusia pun sesungguhnya dilahirkan fasih dengan ‘bahasa’ universal ini, namun manusia cenderung melupakannya.
Sebab, manusia dilatih sejak mulai bayi untuk meyakini bahwa hanya melalui kata kata-lah (words) satu-satunya cara untuk berkomunikasi.
Namun ironinya, meskipun kebanyakan mengira bahwa manusia tidak mengerti bahasa energi, manusia sesungguhnya “mengucapkan” bahasa itu sepanjang waktu, selama hayat masih di kandung badannya.
Tanpa disadari oleh manusia sendiri, mereka sebenarnya “memancarkan” bahasa universal (energi itu) selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu tanpa jeda sepanjang mereka masih hidup.
Apa buktinya?
Buktinya adalah spesies binatang bisa membaca dan “memahami” manusia, meskipun binatang tak menguasai bahasa komunikasi manusia.
Bahkan binatang mampu “membaca” manusia dengan jelas dan tegas, tanpa si manusia sadari bahwa binatang itu berkomunikasi dengan manusia melalui energi yang dipancarkan oleh manusia.
Jadi, energi adalah universal, menjadi bahasa antar spesies makhluk hidup.
Bahkan juga bahasa alam semesta, termasuk bahasa “komunikasi” antara Bumi dan segenap makhluk hidup yang tinggal di atasnya.
Bagaimana pendapat Anda?
Denpasar, 11 Oktober 2018
Penulis: Sunarko
Baca: Gempa Tsunami di Sulteng - Sudah 12 Hari Abdul Rahman Keliling Cari Anak, Cucu dan Menantunya
Baca: Ruben Onsu Bocorkan Chat WA Istri Indro Warkop, Ternyata Seperti ini Hubungan Mereka
Update Gempa Situbondo
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Kabupaten Sumenep, Rahman Riady merilis jumlah korban meninggal dunia akibat gempa magnitudo 6,4 Situbondo di Sumenep.
Jumlah korban tewas menjadi tiga orang dan rumah warga yang hancur akibat gempa sebanyak 25.
Ketiga korban meninggal itu H Nadar (60), Nuril Kamelia (7) dan Suhamar (70), warga Desa Prambanan, Kecamatan Gayam, Pulau Sapudi, Sumenep, Madura.
Korban yang sebelumnya menjalani pemeriksaan di Puskesmas Sapudi, jenazahnya kemudian diserahkan kepada keluarga untuk dikebumikan.
"Kami masih terus menyisir para korban akibat gempa ini bersama tim Tanggap Bencana," kata Rahman, Kamis (11/10/2018).
Kepala Kepolisian Resor Sumenep, AKBP Fadilah Zulkarnain melalui Kasubag Humas Ipda Agus Suparno menjelaskan, aparat kepolisian langsung diterjunkan ke lokasi korban bencana di Pulau Sapudi pasca gempa yang mengguncang, Kamis (11/10/2018) dini hari.
Aparat kepolisian bersama tim Tagana terus berupaya mengidentifikasi korban, baik korban meninggal ataupun korban luka.
Untuk korban luka-luka yang rata-rata patah tulang terus bertambah menjadi sembilan orang.
Berikut identitas mereka.
1. Aswiya, (65),warga Dusun Pancor, Desa Pancor, Kecamatan Gayam, Sapudi
2. Sudik, (60) warga Dusun Wakduwak, Desa Pancor, Kecamatan Gayam.
3. Hj Nasia, (55), Dusun Jambusok, Desa Prambanan
4. Ny Rinami, (70), warga Dusun Guder Dejeh Desa Nyamplong.
5. Muhawiya, (60), warga Dusun Karang Nyior Desa Prambanan.
6. Buhama, (65) warga Dusun Karang Nyior Desa Prambanan.
7. H Samsu, (65) warga Dusun Kon Laok, Desa Prambanan.
8. Su'aida, (55) warga Kon Laok Desa Prambanan
9. Sarwini, (50) warga Dusun Jambusuk Desa Prambanan.
Semua korban ini mengalami luka-luka bahkan ada yang patah tulang karena tertimpa reruntuhan rumah mereka.

Sedangkan sejumlah rumah yang rusak terdapat di empat kecamatan baik di daerah daratan Sumenep ataupun kepulauan tersebar di Kecamatan Gayam.
Rumah warga yang mengalami rusak parah dan retak-retak, di antaranya ada di Desa Kaloang dan Desa Jambuir.
Satu masjid di Desa Gendang Timur rusak. Di Kecamatan Bluto, Juga terdapat rumah rusak di Desa Kapedi.
Di Kecamatan Batang-batang, terdapat rumah rusak di Desa Nyabakan Timur.
Dan Kecamatan Kalianget Sumenep. Terdapat rumah rusak dialami warga Desa Kertasada, Sumenep.
"Total rumah yang rusak sebanyak 25 rumah yang rusak akibat gempa," sambungnya. (Tribun Bali)
Subcsribe Youtube dan Follow Instagram Tribun Timur untuk mengikuti informasi paling terkini