Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Beredar Kabar Ratna Sarumpaet Dianiaya di Bandung, Wajah Babak Belur hingga Trauma

Politisi Partai Gerindra, Rachel Maryam membenarkan kabar Ratna Sarumpaet dianiaya sampai babak belur.

Editor: Ilham Arsyam
Ratna Sarumpaet 

TRIBUN-TIMUR.COM - Politisi Partai Gerindra, Rachel Maryammembenarkan kabar Ratna Sarumpaet dianiaya sampai babak belur.

Melalui cuitannya di Twitter, Selasa (2/10/2018), Rachel Maryammengaku sudah mengonfirmasi kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet.

Rachel Maryam pun membantah kabar yang beredar bahwa Ratna Sarumpaet dianiaya tadi malam.

 

Setelah dikonfirmasi Rahcel Maryam, Ratna Sarumpaet disebut dianiaya pada Jumat, (21/9/2018).

Menurut Rachel Maryam, Ratna Sarumpaet sengaja menyembunyikan kejadian itu.

Ratna Sarumpaet disebut merasa ketakutan dan trauma atas penganiayaan itu.

Cuitan Rachel Maryam benarkan kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet
Cuitan Rachel Maryam benarkan kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet (Twitter/cumarachel)

Tidak hanya Rachel Maryam, Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Demokrat Ferdinand Hutahaean pun berkoar melalui Twitter.

Ferdinand Hutahaean menunjukkan kondisi terbaru Ratna Sarumpaet.

Ia mengatakan, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon sudah menemui Ratna Sarumpaet.

Ferdinand Huatahaean pun memperlihatkan potret Ratna Sarumpaet yang berdiri di samping Fadli Zon.

 

Wajah Ratna Sarumpaet masih terlihat lebam dan bengkak.

Pada cuitan sebelumnya, Ferdinan Hutahaen menunjukkan rasa simpatinya terhadap Ratna Sarumpaet.

Ia bahkan mengutuk siapa pun pelaku yang telah menganiaya Ratna Sarumpaet.

 

Ferdinand Hutahaean pun sempat membagikan sebuah berita soal penganiayaan Ratna Sarumpaet di akun Twitter-nya.

Dalam cuitannya, ia menyebut penganiayaan tersebut Ratna Sarumpaet terjadi di Bandung.

Namun, hal tersebut belum dipastikan kebenarannya.

Berdasarkan hasil konfirmasi wartawan Tribunjabar.id, pihak kepolisian di Bandung belum memastikan kebenaran dari kabar tersebut.

Kabid Humas Polda Jabar menyebut, belum mendapatkan laporan terkait penganiayaan Ratna Sarumpaet.

Ratna Sarumpaet lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, 16 Juli 1948 (umur 70 tahun).

Dia adalah seniman yang banyak mengeluti dunia panggung teater, selain sebagai aktivis organisasi sosial dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre.

Ratna terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat, yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi Orde baru.[1]

Sarumpaet, lahir dalam keluarga non muslim yang aktif secara politis di Sumatera Utara, awalnya belajar arsitektur di Jakarta.

Setelah melihat drama W.S. Rendra pada tahun 1969, ia memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan grup drama tersebut.

Lima tahun kemudian, setelah menikah dan masuk Islam, ia mendirikan Satu Merah Panggung; grup tersebut melakukan sebagian besar adaptasi drama asing.

Ketika ia menjadi semakin khawatir tentang pernikahannya dan tidak senang dengan adegan teater lokal, dua tahun kemudian Sarumpaet meninggalkan grup dan mulai bekerja di televisi; ia baru kembali pada tahun 1989, setelah menceraikan suaminya.

Pembunuhan Marsinah, seorang aktivis buruh, pada tahun 1993 menyebabkan Sarumpaet menjadi aktif secara politik. Dia menulis naskah pementasan orisinal pertamanya, Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah, pada tahun 1994 setelah terobsesi dengan kasus ini.

Hal ini diikuti oleh beberapa karya politik lainnya, yang beberapa diantaranya dilarang atau dibatasi oleh pemerintah. Semakin kecewa dengan tindakan otokratik Orde Baru Soeharto, selama pemilihan umum 1997 Sarumpaet dan grupnya memimpin protes pro-demokrasi.

Untuk salah satu di antaranya, pada Maret 1998, ia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari karena menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik "anti-revolusioner".

Setelah dibebaskan, Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi; tindakan ini menyebabkan dia melarikan diri dari Indonesia setelah mendengar desas-desus bahwa dia akan ditangkap karena perbedaan pendapat.

Ketika dia kembali ke Indonesia, Sarumpaet terus menulis stageplays yang bermuatan politik.

Ia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003; dua tahun kemudian dia didekati oleh UNICEF dan diminta untuk menulis drama untuk meningkatkan kesadaran perdagangan anak di Asia Tenggara. Pekerjaan yang dihasilkan berfungsi sebagai fondasi untuk debut filmnya tahun 2009, Jamila dan Sang Presiden.

Film ini dikirimkan ke ajang Academy Awards ke-82 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik namun gagal masuk nominasi. Tahun berikutnya, ia merilis novel pertamanya, Maluku, Kobaran Cintaku.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved