Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Soeharto Diincar Sniper, Gini Cara Pengawal Mengatasinya. Benny Moerdani Tak Bisa Berbuat Banyak

Soeharto Diincar Sniper, Gini Cara Pengawal Mengatasinya. Benny Moerdani Tak Bisa Berbuat Banyak

Editor: Rasni
Soeharto Diincar Sniper, Gini Cara Pengawal Mengatasinya. Benny Moerdani Tak Bisa Berbuat Banyak 

TRIBUN-TIMUR.COM - Soeharto Diincar Sniper, Gini Cara Pengawal Mengatasinya. Benny Moerdani Tak Bisa Berbuat Banyak

Soeharto merupakan presiden kedua Indonesia yang memimpin selama 32 tahun.

Selama memimpin Indonesia, Soeharto banyak mengunjungi negara lain.

Satu di antaranya adalah kunjungannya ke Sarajevo, Bosnia.

Mantan Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden, Sjafrie Sjamsoeddin, dalam buku Pak Harto, "The Untold Stories" mengatakan, kunjungan itu dilakukan Soeharto pada tahun 1995.
Kunjungan ke Sarajevo itu dilakukan Soeharto usai mengunjungi Kroasia.

Sjafrie mengatakan, dia mendapatkan kabar saat itu baru saja ada pesawat yang ditembaki di sekitar tempat itu.

Pesawat tersebut mengangkut utusan khusus PBB, Yasushi Akashi yang hendak ke Bosnia.

Beruntung insiden itu tidak memakan korban.

Dalam penerbangan dari Zagreb-Sarajevo, Soeharto sama sekali tidak mengenakan rompi pengaman, dan helm.

Padahal, menurut Sjafrie saat itu semua penumpang pesawat sudah mengenakannya.

Namun, Soeharto tiba-tiba saja menanyakan sebuah hal kepada Sjafrie.

"Ini tempat duduk, di bawahnya sudah dikasih antipeluru, belum"? tanya Soeharto ditirukan Sjafrie.

Sjafrie kemudian menjawab, semua bagian sudah ditutup dengan bulletproof, termasuk bagian samping.

Soeharto
Soeharto ()

Baca: Daftar Ucapan Selamat Hari Pramuka ke-57 2018, Cocok untuk WhatsApp dan Facebook

Baca: Prabowo-Sandi vs Jokowi-Maruf Amin, Ini Pesan Tegas Ustadz Abdul Somad dan Felix Siauw

Baca: Pengakuan Valentino Rossi Usai Gagal Raih Hasil Maksimal MotoGP Austria

Melihat Soeharto masih tak mengenakan helm dan rompi pengaman, Sjafrie terus memutar otak.

Akhirnya, Sjafrie pun sengaja duduk di kursi yang terletak di depan Soeharto, sambil memegang rompi dan helm.

Sjafrie melakukan hal itu agar Soeharto meminta kedua benda itu, dan bersedia mengenakannya.

Namun, harapan Sjafrie justru pupus.

Bukannya mengenakannya, Soeharto justru melakukan sebaliknya.

"Helmnya nanti masukkan ke Taman Mini ya! Nanti helmnya masukkan ke (museum) Purna Bhakti," ucap Soeharto saat itu.

Tidak hanya itu, Soeharto juga meminta agar Sjafrie saja yang memegang rompi itu.

Eh, Sjafrie.Itu, rompi itu cangking (bawa) saja. Kamu cangking saja," ujar Soeharto.

Mendapatkan permintaan dari Soeharto seperti itu Sjafrie hanya bisa pasrah, dan menaatinya.

 

Melewati Sniper Valley

 Menjelang pesawat mereka mendarat di Sarajevo, Sjafrie menyaksikan pemandangan dari jendela pesawatnya.

Pemandangan itu berupa adanya senjata laras panjang berpeluru kaliber 12,7 mm.

Menurut Sjafrie, senjata semacam itu biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang.

Senjata tersebut terus berputar mengikuti pesawat yang ditumpanginya bersama Soeharto.

Meski demikian, Sjafrie baru memberitahukan hal itu enam jam kemudian.

Jafrie menyebut kawasan itu memang didiami banyak para sniper.

Sebab, wilayah itu memamg dimiliki oleh kedua belah pihak yang sedang berkonflik.

Meski demikian, saat turun dari pesawat tersebut, Soeharto tetap tenang.

Sikap tenang Soeharto itu juga menular kepada orang sekitarnya.

"Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah?" tulis Sjafrie.

Selanjutnya, Soeharto dijemput pasukan PBB yang sudah menyiapkan VAB, Panser buatan Prancis.

Begitu kendaraan itu berjalan, Soeharto pun menanyakan sesuatu.

"Sekarang ini kita berada di mana?" tanya Soeharto ke Atase Pertahanan.

Pihak Atase Pertahanan kemudian menjawab mereka sedang berada di Sniper Valley.

 

Baca: Ini Komisioner Bawaslu se-Sulsel Lolos Seleksi Akhir

Baca: Niat dan Doa Buka Puasa Dzulhijjah, Keutamannya: Doa Dikabulkan Hingga Pintu Neraka Dikunci

Baca: Alumni Unhas Salurkan Bantuan Rp 117 Juta untuk Korban Bencana Gempa Lombok

Benny Moerdani tak bisa berbuat banyak saat di Belanda

Sebagai tokoh intelijen yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan Panglima TNI, Benny Moerdani dikenal sebagai pengawal pribadi Presiden Soeharto yang sangat loyal.

Selain sebagai pengawal, ia bahkan dikenal sebagai agen rahasia yang siap menyerahkan nyawanya demi keselamatan Pak Harto.

Dilansir dari Intisari, suatu kali pada akhir Agustus tahun1970-an, Presiden Soeharto berkunjung ke Belanda dan akan menuju Istana Huis Ten Bosch, Den Haag, tempat keluarga Kerajaan Belanda menetap.

Kunjungan Pak Harto itu sebenarnya merupakan 'lawatan yang kaku' karena pemerintah Kerajaan Belanda pada tahun 1970-an belum mengakui tanggal kemerdekaan RI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Pemerintah Belanda bahkan baru mengakui kemerdekaan RI pada 16 Agustus 2005 menjelang Indonesia merayakan peringatan kemerdekaan yang ke-60 tahun.

Kunjungan Pak Harto saat itu bahkan tidak disukai oleh Kerajaan Belanda mengingat di era Perang Kemerdekaan, Pak Harto sebenarnya merupakan musuh bebuyutan militer Belanda.

Aparat keamanan Belanda yang secara psikologis terpengaruh oleh sikap Kerajaan Belanda bahkan hanya menyiapkan sistem pengamanan yang tidak maksimal sehingga bisa membahayakan keselamatan Pak Harto.

Menurut Benny, kunjungan Presiden Soeharto itu memang berisiko tinggi karena di Belanda masih banyak anggota simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) yang bisa membahayakan keselamatan Pak Harto.

Untuk memastikan keamanan Pak Harto, Benny kemudian memeriksa rute yang akan dilalui menuju Istana Huis Ten Bosch.

Rute itu ternyata rawan oleh ancaman tembakan sniper dari jendela-jendela bangunan sepanjang jalan dan adanya perempatan lampu merah yang rawan oleh aksi penyergapan bersenjata.

Hasil inspeksi itu kemudian dirapatkan oleh Benny bersama para agen rahasia dan aparat keamanan Belanda.

Intinya Benny meminta agar jendela-jendela di bangunan sepanjang jalan yang dilintasi Presiden Soeharto dijaga ketat, demikian pula perempatan lampu merah yang akan dilintasi juga harus disterilkan.

Tapi para agen rahasia dan aparat keamanan Belanda ternyata menolak permintaan Benny.

Akibatnya, karena merasa diremehkan, Benny pun mengamuk dan mendamprat para keamanan Belanda itu sambil menggebrak meja.

"Kami hanya punya satu Soeharto! Apakah Anda bisa menjamin keselamatannya...!?" bentak Benny dalam bahasa Belanda seperti dikutip dalam buku "Benny Moerdani Yang Belum Terungkap."

Sebagai agen rahasia (intelijen) Benny memang dikenal mahir berbahasa Jerman, Belanda, Inggris, China, dan Bahasa Korea.

Para agen Belanda hanya bisa ketakutan berhadapan dengan Benny yang merupakan veteran perang RI dalam Perang Kemerdekaan dan Operasi Trikora melawan pasukan Belanda itu.

Tapi Benny tidak bisa berbuat banyak karena sedang berada di negara lain.

Apalagi pemerintah Belanda sendiri ternyata tidak begitu menyukai Pak Harto.

Namun, kekhawatiran Benny ternyata terbukti.

Suatu malam 31 Agustus 1970, sebanyak 33 anggota RMS bersenjata menyerbu Wisma Duta, rumah Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda.

Mujur Duta Besar RI,Taswin Natadiningrat yang pensiunan Letnan Jenderal lolos dari serbuan.

Atas aksi bersenjata anggota RMS yang ternyata tidak bisa dicegah oleh aparat keamanan dan agen rahasia itu, pemerintah Kerajaan Belanda pun sangat malu.

Intelijen Belanda sendiri menjadi sadar bahwa apa yang disampaikan oleh Benny sambil marah-marah ternyata benar.

Rombongan Presiden Soeharto yang berkunjung ke Istana Huis Ten Bosch pun kemudian mendapat pengawalan sangat ketat dan kunjungan tidak meggunakan kendaraan darat, melainkan helikopter.(*)

 

Artikel ini telah tayang di Tribunjatim.com dengan judul: Cara Para Pengawal Lindungi Soeharto dari Ancaman Sniper, Tak Bisa Berbuat Banyak Saat di Belanda

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved