Piala Dunia 2018
Inggris vs Tunisia, Pertarungan Singa dan Elang
Kehadiran mereka bagaikan tim pelengkap penderita, yang mesti tersingkir lebih awal dari turnamen.
oleh Willy Kumurur, penikmat bola
TIM dari Benua Afrika, Tunisia, tidak setenar seperti Jerman, Argentina, Spanyol atau Perancis. Namun, tim berjuluk Elang Kartago ini termasuk negara yang beruntung karena telah lima kali lolos ke Piala Dunia (1978, 1998, 2002, 2006, dan 2018).
Kehadiran mereka bagaikan tim pelengkap penderita, yang mesti tersingkir lebih awal dari turnamen. Ian Hawkey, penulis buku Feet of the Chameleon: The Story of African Football, sebagaimana dikutip oleh harian The New York Times mengatakan tentang Tunisia, "Untuk sukses di Piala Dunia, Anda harus memiliki struktur domestik yang kuat".
Apa maksud Hawkey? Maksudnya adalah bahwa banyak pemain Afrika yang bagus di liga-liga besar, namun itu tidak cukup. Dibutuhkan struktur domestik yang kuat yaitu faktor ekonomi di dalam negeri. Otoritas sepakbola Afrika sadar akan hal ini dan itulah alasan mengapa Kejuaraan Bangsa-Bangsa Afrika dibentuk, yang kelasnya di bawah Piala Afrika.
Menghadapi Inggris di grup G, pelatih Tunisia Nabil Maaloul dibuat pusing karena pemain andalan Elang Kartago, Youssef Msakni, harus absen karena cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL). Padahal, punggawa Al-Duhal FC tersebut adalah salah satu pemain yang paling diandalkan dalam urusan mencetak gol.
Dari empat laga yang diikutinya, Msakni telah mengemas tiga gol. "Tunisia tanpa Msakni? Itu ibarat Argentina tanpa Lionel Messi atau bagaikan Portugal tanpa Cristiano Ronaldo. Dia adalah pemain yang sangat penting," ujar Maaloul. Pada Piala Dunia 1998 di Perancis, Tunisia berjumpa Inggris pada penyisihan Grup G di Stade de Velodrome. Saat itu The Three Lions-Inggris menaklukkan Tunisia 2-0.
Sementara itu, Inggris yang mempunyai liga paling kompetitif di dunia, adalah magnet untuk para seniman bola dunia. Di Liga Primer Inggris, bintang-bintang dunia dicetak dan dilahirkan. Inggris dianugerahi pemain bertalenta.
Tetapi mereka miskin prestasi di level tim nasional. Telah lama Inggeris merindukan kembalinya bola ke pangkuan ibu pertiwi. Inggeris adalah tanah air bola, kelahiran dan tanah tumpah darah sepakbola modern. Terkahir kali mereka meraih Piala Dunia tatkala menjadi tuan rumah di tahun 1966.
Setelah itu, bola seolah menjauh dari “ibunda” nya. Gelandang elegan Inggris, Fabian Delph, mengatakan, “Kami bisa saja pulang bagai pahlawan, kami ingin membuat negara, keluarga dan teman kami bangga”. Telah lama negeri Britania merindukan kembali.
Apakah tim Tunisia akan dapat memberikan perlawanan kepada tim Tiga Singa dari Kerajaan Britania? Ataukah mereka memang hanya sekadar tim pelengkap penderita? Apakah nanti tim Inggris, asuhan Gareth Southgate, akan mampu menciptakan keajaiban, menggiring bola kembali ke haribaan ibu pertiwi?
Manusia adalah makhluk yang berkembang, berubah-ubah dan tidak statis. Itulah pendapat filsuf Italia, Giovanni Pico della Mirandola, yang mengemukakan pandangan Renaissans bahwa manusia harus merancang dan mengubah kodratnya sendiri melalui tindakan moral-spiritual.
Pico menekankan bahwa manusia sanggup mengatasi semua hal. Apakah ini pula yang akan dilakukan oleh Maaloul ketika memimpin pasukan Elang Kartago dan Southgate arsitek tim Tiga Singa saat memasuki medan pertempuran Piala Dunia 2018 di Volgograd Arena - Rusia?****