Refleksi Ramadan
REFLEKSI RAMADAN (25): Youtube Ancam Eksistensi Ustad dan Dai Televisi
tanpa menguasai bahasa Arab atau belajar di Timur Tengah, seseorang kini dapat mempelajari berbagai cabang keilmuan Islam.
Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama UINAM
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dahulu, ilmu-ilmu agama hanya milik ekslusif para ulama. Untuk jadi ulama, mereka harus bersusah payah menempuh jenjang pendidikan dalam waktu lama.
Tak jarang, mereka harus merantau hanya untuk belajar pada ulama terbaik di bidangnya. Tak sedikit ulama Indonesia pernah tinggal beberapa tahun setelah menunaikan ibadah haji untuk belajar di Haramain.
Bisa dibayangkan, mahalnya biaya dan beratnya perjalanan haji dengan kapal laut kala itu.
Dahulu, buku-buku standar tentang disiplin ilmu agama hanya tersedia dalam bahasa Arab (populer disebut kitab kuning). Tak mudah memiliki satu kitab kuning karena harganya mahal dan sulit ditemukan. Orang biasanya menitip dibelikan lewat jamaah haji.
Untuk bisa memahami kitab kuning mensyaratkan penguasaan bahasa Arab, yang idealnya dipelajari sejak SD atau SMP. Dulu tempat terbaik belajar bahasa Arab di pesantren, yang kondisinya serba kekurangan. Menjadi santri di masa lalu identik dengan perjuangan dan penderitaan.
Kini, ilmu agama bukan lagi ekslusif milik ulama. Hampir semua kalangan dapat mempelajarinya. Tak perlu harus merantau jauh-jauh, misalnya, ke Mesir, Mekah, Madinah, atau Qum.
Lembaga pendidikan Islam, tradisional maupun modern, tumbuh di mana-mana. Sejak awal 1960-an, di Indonesia berdiri belasan IAIN.
Orang bahkan dapat belajar Islam di Barat (Eropah, Amerika Utara, Australia). Sebab, sejumlah universitas di Barat juga membuka program studi Islam. Sarjana, kebanyakan asal Timur Tengah dan Muslim, yang memiliki otoritas tinggi pada berbagai bidang studi Islam diundang menjadi dosen dengan gaji tinggi.
Tak jarang, mereka sarjana terbaik yang berdiaspora ke Barat karena dipersekusi di negaranya. Jangan lupa, karena kaya, kampus-kampus itu mampu memiliki koleksi pustaka yang nyaris lengkap tentang Islam dalam hampir semua bahasa dunia Islam: Arab, Turki, Urdu, Persia, Indonesia, Malaysia, Mandarin, dan sebagainya.
Yang lebih penting lagi, kemajuan di bidang teknologi percetakan dan digital, memungkinkan kitab standar tentang keilmuan Islam semakin banyak diproduksi. Termasuk buku terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris dan Indonesia. Harga buku juga semakin terjangkau dan mudah diperoleh, termasuk secara online.
Selain buku cetak, semakin banyak pula buku digital yang dibaca lewat laptop, smartphone, dan gawai lainnya. Maka, tanpa menguasai bahasa Arab atau belajar di Timur Tengah, seseorang kini dapat mempelajari berbagai cabang keilmuan Islam.
Baik dengan membaca karya terjemahan Indonesia atau Inggris maupun dengan menonton kuliah-kuliah tentang Islam lewat Youtube dan platform internet lainnya.
Walhasil, bisa dibayangkan, di masa depan ustad, ulama, majelis taklim, dan dai-televisi mungkin takkan lagi jadi sumber utama kaum Muslim memperoleh pengetahuan agama.
Mereka memilih belajar tentang Islam langsung dari sumber tertulis dalam beragam format.
Jika itu terjadi, penggemar fanatik ‘ustad instan’ atau ‘ulama karbitan’ jadi semakin berkurang. Sebab, umat kini memiliki kemampuan dan peluang yang sama dalam mengakses sumber-sumber pengetahuan tentang Islam dan memilih pandangan sesuai kebutuhan.
Syaratnya, budaya baca umat harus tumbuh lebih dahulu. Jika tidak, mereka akan terus jadi korban ekspolitasi dan komodifikasi berjubah agama.(*)