Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Refleksi Ramadan

REFLEKSI RAMADAN (24): Survei Membuktikan, Karakter Islami Justeru Tumbuh Subur di Negeri Sekuler

mengejutkan, negara "yang benar-benar paling Islami" di dunia bukanlah Arab Saudi, Iran, atau negara-negara mayoritas Muslim lainnya.

Editor: AS Kambie
dok.tribun
Wahyuddin Halim 

Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama UINAM

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Beberapa tahun lalu, sebuah lembaga riset di AS meneliti negara paling ‘Islami’ dari 208 negara. Empat indeks utama untuk mengukur tingkat “keislaman” suatu negara: ekonomi, pemerintahan, hak asasi manusia dan politik, dan hubungan internasional.

Suatu negara Islami jika menampilkan karakteristik seperti penguasa yang dipilih rakyat, tidak korup, adil, kesetaraan di hadapan hukum, kesempatan setara untuk pembangunan manusia, adanya kebebasan memilih (termasuk agama) dan kesejahteraan yang merata.

Hasilnya mengejutkan, negara "yang benar-benar paling Islami" di dunia bukanlah Arab Saudi, Iran, atau negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Sebaliknya, Selandia Baru, Luxemburg, Irlandia, Islandia, dan Finlandia berada di daftar paling atas. Padahal negara-negara itu termasuk sekuler.

Tidak satu pun negara Muslim mayoritas yang masuk 25 besar dan tidak ada negara Arab di 50 teratas dalam daftar. Hanya Malaysia (38) dan Kuwait (48) yang tampil di 50 negara teratas dibanding dengan Amerika Serikat di urutan ke-15, juga Belanda, sementara Prancis di urutan ke-17. Indonesia hanya menduduki rangking ke-140.

Nurcholish Madjid pernah menyatakan, “Indonesia adalah negara Muslim yang paling sedikit terislamkan di dunia.” Mengapa? Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan ini.

Pada tahun 1988, Louis Kraar, seorang pengamat Asia Timur, sudah meramalkan, Indonesia dalam jangka waktu 20 tahun akan menjadi halaman belakang (back yard) Asia Timur, ditinggalkan oleh negara-negara tetangga yang berkembang menjadi negara-negara maju. Sebabnya ialah “etos kerja yang lembek dan korupsi yang gawat”.

Karl Gunnar Myrdal menilai Indonesia sebagai “soft state”, “negara lunak”, yaitu negara yang pemerintahan dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik.

Bangsa kita umumnya mengidap kelembekan, sikap serba memudahkan, sehingga tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan seperti korupsi.

Pengajaran Islam lewat media dakwah dan lembaga pendidikan lebih berpusar pada perkara fikih: salat, zakat, puasa,haji, taharah, khitanan, kewarisan, nikah, dan sebagainya.

Ibadah ritual (mahdah) mendapatkan prioritas lebih penting daripada ibadah sosial (muamalah).

Penyempitan makna seperti ini membawa agama tampak tak punya relevansi langsung dengan kehidupan duniawi yang aktual.

Pesan moral-etik agama dalam rangka kebajikan hidup bersama seperti, kejujuran, kedisiplinan, keadilan, keterbukaan, kebersamaan, kerukunan, kesederhanaan, dana kedermawanan justru terabaikan.

Sayangnya, kesalehan ritual seperti ini cenderung hanya membentuk karakter individu yang egois, pasif, angkuh, suka pamer dan kejar status.

Banyak orang bangga menampilkan kesalehan ritual di ruang privat atau tempat ibadah, tapi tak segan memperagakan prilaku asosial di ruang publik.

Tengoklah ciri umum lingkungan sosial di mana komunitas Muslim hidup: sampah bertebaran, comberan mampat, lalu lintas semrawut, hak-hak asasi yang terampas, kriminalitas yang membudaya seperti penjambretan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, perkelahian warga, korupsi dan sebagainya.

Betul, Indonesia adalah negeri Muslim terbesar. Tapi masyarakatnya belum merefleksikan karakter yang benar-benar “Islami”.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved