Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Refleksi Ramadan

REFLEKSI RAMADAN (13): Siklus Dai Layar Kaca, Penceramah Pendamping-Host Talkshow-Banjir Undangan

Dulu butuh waktu lama belajar agama sebelum mendapat pengakuan sebagai ulama, atau sekadar panggilan ustad.

Editor: AS Kambie
dok.tribun
Wahyuddin Halim 

Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama UINAM

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Di Indonesia, walau pengguna internet semakin besar, televisi masih menjadi medium terbaik untuk menjangkau dan mempenetrasi konsumen. Itu sebabnya, media televisi tetap berperan penting dalam dakwah, hiburan, dan kecenderungan komodifikasi (komersialisasi) agama di bulan Ramadan.

Sejak waktu sahur hingga malam hari hampir semua saluran televisi swasta nasional disesaki program khusus Ramadan dalam berbagai segmen: ceramah, sinetron, talk show, standup comedy, konser, kontes, dan sebagainya.

Setiap program TV selama Ramadan memang ditujukan menghibur serta menambah pengetahuan dan wawasan kaum Muslim. Namun, ceramah agama lewat TV lebih dituntut menyesuaikan diri dengan budaya pop dan harus punya unsur kelucuan.

Tidak jarang ceramah menjadi sekadar sambilan dari program hiburan yang lebih mendominasi tayangan TV. Para dai TV lebih sering tampil bagai selebriti, lengkap dengan busana dan aksesorisnya.

Media TV turut berperan mengorbitkan dai-dai pemula. Awalnya mereka hanya tampil sesekali, dalam program keagamaan yang tidak begitu digemari pemirsa.

Berikutnya mereka menjadi host acara diskusi atau talkshow agama. Ketika semakin dikenal, mereka pun dibanjiri undangan ceramah di berbagai tempat di luar stasiun TV.

Dulu butuh waktu lama belajar agama sebelum mendapat pengakuan sebagai ulama dari masyarakat, atau sekadar panggilan ustad.

Kini siapa pun dengan profesi apa pun dapat tetiba terkenal sebagai dai karena dikarbitan media TV. Tragisnya, dalam beberapa kasus, dai yang sama meredup bintangnya karena kasus negatif tentangnya di-blow-up besar-besaran lewat TV.

Berbeda dengan ulama yang memahami kompleksitas masalah agama, dai-dai ‘orbitan’ seperti ini kerap terlalu menyederhanakan masalah.

Tampaknya itu demi memudahkan penerimaan pemirsa yang tidak bisa serius dan lama-lama belajar agama. Namun, ceramah dai-dai kondang ini kerap juga memantik kontroversi dan polemik.

Entah karena sekedar salah ucap maupun karena dangkalnya pengetahuan keagamaan mereka.
Kesemarakan siaran Ramadan saluran-saluran TV di Indonesia memang dimungkinkan karena jumlah pemirsa masih cukup besar.

Menurut sebuah riset, orang Indonesia dari semua tingkat penghasilan senang sekali menonton TV (rata-rata 4,5 jam per hari). Ini termasuk skor tertinggi di dunia (bandingkan dengan AS: 4 jam dan Inggris: 3,4 jam per hari).

Entahlah, apa ini yang dimaksud Jim Rohn, “Orang-orang miskin punya televisi besar. Orang-orang kaya punya perpustakaan besar”.

Atau dengan kesimpulan sebuah riset di Universitas Marlyand, AS (2008) bahwa orang-orang yang tidak bahagia lebih banyak nonton TV, sementara orang-orang yang menggambarkan diri mereka sebagai sangat bahagia menghabiskan lebih banyak waktu dengan membaca dan bergaul.

Karena kaum Muslim Indonesia masih gemar menghabiskan banyak waktu di depan TV, mereka pun lebih mudah terpapar oleh ceramah agama para dai pavorit yang rutin muncul di TV.

Padahal, seringkali, ceramah-ceramah agama mereka lebih bersifat parsial, rekreatif, simplifikatif, sektarian, atau menekankan satu aspek tertentu saja dari agama.

Juga cenderung absolutis atau tidak menjelaskan adanya perbedaan penafsiran dan pemahaman di kalangan ulama atas isu-isu agama yang sedang dibicarakan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved