Travelstory
Menyusuri Salukang Kallang, Gua Terpanjang di Indonesia
Gua ini memiliki panjang lebih dari 12 kilometer. Untuk menyusurinya terdapat empat entarance yang tersedia, K1, K2, K3 dan K4.
Oleh:
Taufiq Ismail
Staf TN Babul
TRIBUN-TIMUR.COM-Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) memiliki sejumlah site yang menarik di kunjungi. Salah satunya, yakni Gua Salukang Kallang.
Gua yang berada di Desa Labuaja, Kabupaten Maros ini merupakan gua terpanjang yang berada di kawasan TN Babul.
Bahkan, sudah dinobatkan sebagai gua terpanjang di Indonesia. Gua ini memiliki panjang lebih dari 12 kilometer. Untuk menyusurinya terdapat empat entarance yang tersedia, K1, K2, K3 dan K4.
Pada pekan ketiga Januari 2018 lalu, saya menemani seorang teman dari Yogyakarta, Iskandar yang ingin bernostalgia dengan Gua Salukang Kallang. Iskandar yang juga diketahui merupakan salah satu perintis saat TN Babul dicetus ini pun mengatakan ingin masuk lewat pintu K3.
Pintu masuk yang ia pilih ini memiliki entrance vertikal. Rombongan yang ikut serta pun mulai menyiapkan peralatan. Tali kernmantel, helem, tali webbing dan peralatan SRT (single rope technique) fullset. Semuanya menyatu dalam tas techkel bag punggung.
Kendaraan roda empat mengantar kami menyusuri jalan Karaenta yang berkelok. Tepat di penghujung hutan karst Karaenta sang sopir memelankan gas kemudian berhenti.

Kami berenam kala itu. Semua kemudian bersiap. Memakai baju gua, memasang peralatan keamanan masing-masing. Melingkarkan ches harnes, mengaitkan foot loop, kemudian menguncinya dengan delta tepat depan pusar.
Masing-masing orang kemudian juga memasang jumar dan auto stop. Menyilangkan tali weibing di belakang punggung kemudian menguncinya pas di dada kiri. Tali ini berfungsi sebagai penyeimbang saat memanjat tali. Tahap akhir memasang helem jenis explorer dengan senter kepala yang sepaket.
Tak lupa breafing persiapan sebelum memasuki hutan belantara habitat monyet endemik Sulawesi, Macaca maura.
Tim pun mulai menuruni jalan terjal itu dan berjalan ekstra hati-hati. Hujan semalam masih menyisakan lantai hutan yang basah dan licin. Tak lama kemudian kami sampai di kaki tebing karst.
Anggota tim lain kemudian mencari dan mengingat jalan menuju gua. Seorang di antara kami kemudian memastikan bahwa aliran air dari karst itu adalah jalan menuju mulut gua K3.
Tim pun mengikuti aliran air. Hampir satu kilometer kami mengikuti aliran air ini kemudian alirannya menghilang. Masuk ke sebuah liang berdiameter satu meteran.
“Alirannya saya kira akan masuk ke Gua Salukang Kallang” ujar Indra.
Satu kilometer terakhir, tim disuguhi hutan perawan. Pepohonan begitu rapat, hanya sedikit cahaya yang menembus lantai hutan. Tak jarang saya jumpai pohon beringin yang tak bisa dipeluk seorang saja. Banir yang kekar dan lebar menandakan ia sudah berumur puluhan tahun.
Pada penghujung jalan, Yudi yang memimpin kawanan berbelok kiri. Tak lama kemudian sampailah kami pada sebuah mulut gua dengan sebatang palem sebagai penandanya.
Mulut Gua Sedalam 7 Meter
Saat anggota tim yang lain beristirahat, Yunus membuat simpul pada pangkal pohon palem itu. Sejurus kemudian ia menuju mulut gua, mengaitkan tali kernmantel pada hanger menempel kokoh di sisi kiri tebing mulut gua.
Yunus lalu mengaitkan auto stop di dadanya, dengan sigap ia sudah melesat menuruni tali kernmantel yang menggantung. Iskandar menyusul. Dengan teknik descending, ia lihai menuruni mulut vertikal setinggi tujuh meter itu.


Seluruh anggota tim bergantian turun dengan tali yang sama. Begitu sampai di ujung tali sudah gelap. Bertanda sudah di dalam gua. Senter di kepala pun dinyalakan. Saatnya menjelajah bawah tanah tempat hidup Macaca Maura ini.
Air Setinggi Dada hingga Harus Merayap
Saat memasuki dalam gua, awalnya kami masih bisa berdiri tegak, atap gua melengkung seperti terowongan. Namun, semakin dalam memasuki gua, atap gua semakin menyempit. Bahkan, tim harus merayap bersama lumpur.
Anggota tim juga terkadang menemukan genangan air yang cukup dalam, hingga membuat harus berjalan di sisi lain.
“Airnya cukup dalam. Hati-hati tanahnya berlumpur,” Yunus mengingatkan yang lain.
Bisa-bisa terperosot jika salah pijak. Dua anggota tim secara sukarela mencari jalan. Yudi kembali memberi kabar.
“Ada jalan,”katanya.

Namun, kali ini harus menceburkan diri. Berjalan paling pinggir karena airnya setinggi dada. Tas yang berada di punggung saya angkat di atas kepala.
Ayu sedikit takut dengan air. Ia garang saat descending menuruni gua, namun ia menyerah jika harus bermain air. Bertahan tidak mau menembus genangan air. Indra kemudian mendekatinya, membujuk dan menuntunnya. Akhirnya ia berani.
Selepas dari genangan, ternyata perjuangan belum berakhir. Lorong gua makin menyempit. Berbentuk seperti huruf M. Sisi kanan terendam air, sementara sisi lain hanya tersisa sedikit celah.
Hanya seperti jendela kecil dengan stalaktit yang cukup tajam di atasnya. Harus merayap untuk melewatinya dengan tetap waspada memerhatikan stalaktit di atas atap gua.

Setelah itu, tim kemudian menemukan ruang yang sedikit luas. Saya kemudian membalikkan badan, merayap lagi beberapa meter. Namun, untuk keluar, ruang lebih kecil lagi. Keluar dari himpitan kecil itu, terdapat ruang yang cukup luas.

Saat kami keluar dari gua, malam sudah menjelang. Beberapa ekor kelelawar keluar masuk dari gua. Memulai aktivitasnya.
Setelah membersihkan jalur. Tim kemudian berjalan menyusuri gelap belantara hutan karst. Kami berjalan beriringan. Menemukan kembali jalan setapak yang samar-samar. Menyusurinya hingga mengantarkan kami pada jalan poros tempat kami memarkir kendaraan.(*)