DPD Apindo Sulsel: Biaya Top Up Akal-Akalan BI
Kenapa harus dikenakan lagi biaya top up. Toh, kata dia, tidak dikenakan pun bank sudah untung.
Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Suryana Anas
Laporan Wartawan Tribun Timur, Muhammad Fadhly Ali
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Terkait adanya fee top up, beberapa pengusaha di Sulsel tidak sependapat. Sekretaris Dewan Pengurus Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel, Yusran IB Herald salah satunya.
Menurutnya, ia melihat ini sebuah akal-akalan Bank Indonesia untuk mengumpulkan duit dari masyarakat.
"Coba bayangkan biaya top up saja bisa sampai Rp 1.500 sekali top up. Kalau sekiranya pengguna Unik sejuta orang, maka biaya yang didapatkan bank sudah Rp 1,5 miliar," kata Yusran sapaanya.
Sementara data BI pada 2016 saja, belum ada aturan tentang keharusan menggunakan Unik sudah mencapai 6,5 juta pengguna.
"Nah bagaimana kalau Oktober aturan ini diberlakukan bisa mencapai puluhan juta penggunanya dikalikan dengan Rp 1.500," katanya.
Itu dari segi biaya, belum lagi dari simpanan uang di kartu tersebut minimal Rp 50 ribu. Coba bayangkan masing-masing orang saja mengisi Rp 100 ribu kali x jumlah pengguna tahun 2016 saja yang digunakan.
"Berapa jumlah dana yang terkumpul sebab tidak semua orang yang mengisi kartu, langsung digunakan. Sementara dana yang tersimpan di kartu tersebut tdk mendapat jasa apa-apa dan bank bisa gunakan itu," jelasnya.
Kenapa harus dikenakan lagi biaya top up. Toh, kata dia, tidak dikenakan pun bank sudah untung. "Contoh saya sudah lama gunakan
Flash dan selalu saya isi min Rp 100 ribu. Nah ini tidak habis dalam sebulan tergantung seberapa banyak saya melewati jalan tol," katanya.
Lalu, uang yang mengendap ini, lanjut dia, tidak diberi bunga oleh bank. "Nah kenapa BI harus membebani lagi dengan biaya top up.
Itulah saya bilang, ini akal-akalan BI Saja, apalagi masyarakat ini lagi susah. Daya beli menurun, kondisi ekonomi belum pulih kok memberikan lagi aturan seperti ini," ujarnya. (*)