Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Bertepatan dengan Tahun Baru Islam, Ini Alasan Masyarakat Jawa Keramatkan Malam 1 Suro

Ngomong-ngomong bagi sebagian masyarakat Jawa, Malam Satu Suro kerap dianggap sebagai momen yang menyeramkan.

Editor: Ilham Arsyam
kaskus
Suzanna dalam film Malam 1 Suro 

TRIBUN-TIMUR.COM - Bagi Anda generasi 90-an film Malam Satu Suro tentu begitu membekas di ingatan.

Ini adalah satu film horor romantis yang melegenda di Indonesia.

Film yang diproduksi pada tahun 1988 ini disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra dan dibintangi oleh si ratu horor Suzanna dan Fendy Pradana.

Film ini dikenal dengan alur ceritanya yang unik karena tidak mengisahkan sang hantu sundel bolong sebagai tokoh antagonis seperti pada umumnya, namun sebagai tokoh protagonis.

Banyak adegan yang paling dikenal dalam film ini seperti nama Suketi, menjadikan Sundel Bolonng sebagai anak, piano yang tiba-tiba berdenting sendiri ketika malam, dan adegan Suzanna makan bakpao dalam sekali hap.

Film ini bercerita Malam satu suro bercerita tentang seorang dukun yang bertempat tinggal di Alas Roban Jawa Tengah.

Ia membangkitkan jenazah Suketi, wanita 21 tahun yang meninggal akibat bunuh diri karena diperkosa.

Suketi dipaku kepalanya, dan saat itu pula jadi manusia.

Suketipun diangkat menjadi anak angkat.

Beberapa waktu berlalu, di hutan yang hanya didiami oleh Suketi, dukun, dan istri dukun itu didatangi oleh 2 pemuda pemburu dari kota.

Sang pemburu yang bernama Werdo jatuh cinta pada suketi dan berniat meminangnya.

Akhirnya mereka menikah, menjadi keluarga bahagia yang dikaruniai dua anak dan hidup kaya raya.

Konflik muncul ketika rekan kerja Werdo ditolak tendernya di kantor Werdo, para preman berwajah seram itu bertanya pada dukun yang lain.

Setelah tau rahasia Werdo, mereka menyambangi rumah Werdo, dan mencabut paku yang bertengger di kepala Suketi.

Dan jadilah ia kembali pada sosok aslinya.

Ngomong-ngomong bagi sebagian masyarakat Jawa, Malam Satu Suro kerap dianggap sebagai momen yang menyeramkan.

Tak bisa dipungkiri, hari yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam.

Mengapa demikian?

Sebab Malam 1 Suro dianggap sebagai momen penting.

Masyarakat Jawa pun miliki banyak sekali ritual-ritual khusus yang dijalankan.

Ritual tersebut bisa dibilang identik dengan aura mistis.

Misalnya ritual pencucian keris atau senjata pusaka lain di hari itu.

Ritual yang dinamakan panjamasan tersebut miliki cara khusus seperti beruasa, pati geni, menyiapkan sesaji yang dilengkapi dengan menyan, tumpeng dan lainnya.

Terlepas dari hal-hal mistis, Malam 1 Suro sendiri bisa dibilang sebagai tradisi yang dimaksudkan untuk memupuk kesetiaan warga Keraton.

Doa Awal Tahun

Dikutip dari Konsultasisyariah.com, pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, kaum muslimin belum mengenal pergantian tahun hijriyah.

Sehingga ketika itu, tidak ada istilah tahun baru hijriyah.

Mereka menggunakan kalender qamariyah sebagai acuan kegiatan dan pencatatan sejarah.

Mengikuti kalender yang sudah digunakan oleh masyarakat arab sejak sebelum Islam.

Hanya saja, di zaman mereka belum ada angka tahun dan acuan tahun.

Hingga akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, tepatnya pada tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah.

Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan, “Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat di Madinah, dan beliau meminta, “Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”

Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi.

Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain. (Mahdhu ash-Shawab, 1/316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1/150)

Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:

Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya, “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama Hijriyah. (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).

Dengan memahami latar belakang di atas, ada kesimpulan yang bisa kita berikan garis tebal:

1.Bahwa pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr tidak dikenal tahun baru hijriyah,

2. Alasan Umar menetapkan acuan tahun hijriyah adalah untuk menandai setiap peristiwa dan menertibkan kegiatan korespondensi dengan wilayah lain.

Atau dengan bahasa sederhana, latar belakang penetapan tahun hijriyah di zaman Umar, lebih terkait pada kepentingan administrasi dan tidak ada hubungannya dengan ibadah.

3. Segala bentuk ritual ibadah, baik shalat di malam pergantian tahun atau doa tahun baru, atau puasa akhir tahun, dan seterusnya, sama sekali tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat,

4. Ketika Umar menetapkan tanggal 1 Muharram sebagai hari pergantian tahun, beliau tidak memerintahkan masyarakat untuk memeriahkan hari itu sebagai hari istimewa.

Karena itulah, para ulama sejak masa silam, mereka tidak pernah menganjurkan adanya ibadah khusus, apapun bentuknya, di tahun baru hijriyah.

Bahkan para ulama mengingkarinya.

Sementara doa yang tersebar di masyarakat, yang bunyinya, "Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam…dst."

Doa ini shahih, diriwayatkan Ahmad, Turmudzi dan yang lainnya, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth.

Hanya saja, doa ini bukan doa awal tahun, namun doa awal bulan.

Dianjurkan untuk dibaca setiap awal  bulan qamariyah.

Mengkhususkan doa ini hanya ketika tahun baru hijriyah, termasuk menyalahi fungsi dari doa tersebut.

Sementara itu, dikutip dari Mysumber.com, di kalangan masyarakat Malaysia, doa ini paling sering dibaca.

Doa awal tahun
Doa awal tahun ()
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved