KNPI Sulsel-HMI Gagas Kelas Literasi, Ini Alasannya
Kegiatan ini juga terinspirasi dari pembukaan dan Pasal 31 UUD 1945 yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Suryana Anas
Laporan Wartawan Tribun Timur, Hasim Arfah
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Lembaga Riset Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sulsel dan bekerja sama HMI Badko Sulselbar mengadakan kelas literasi di Aula Gedung Guru JK, Kompleks Kantor Dinas Pendidikan Pemprov Sulsel, Jl Perintis Kemerdekaan, Makassar, Sulsel, Sabtu (9/12/2017).
Kegiatan ini juga untuk memperingati hari aksara internasional.
Selain itu, Kohati Badko Sulselbar dan BPL HMI Cabang Makassar Timur juga ikut mendukung kegiatan ini.
Wali Kelas Literasi, Hartono Tasir Irwanto, mengataka kelas literasi untuk kalangan umum secara gratis demi mewujudkan insan akademis dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ia mengatakan kegiatan ini juga terinspirasi dari pembukaan dan Pasal 31 UUD 1945 yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Bahwa pendikan adalah kewajiban pemerintah. Bahkan seperlima dari total anggaran negara dan daerah diperuntukkan bagi pendidikan. Namun, pendidikan yang semestinya menjadi solusi atas masalah, mengapa justru menjadi masalah tersendiri," katanya.
Ia masalah itu muncul selain minimnya keteladanan aktor pendidik, juga kegagalan memahami orientasi pendidikan (karakter yang beradab) merupakan faktor lain yang menyebabkan buruknya pendidikan kita.
Sarjana yang kontra produktif, dan buruknya infrastrukur pendidikan, melengkapi kelemahan pendidikan kita. Pendikan kita betul-betul tercerabut dari akar sosial kebudayaan.
Padahal pendidikan bagian dari keluhuran suatu kebudayaan. Untuk itu, diperlukan kohesivitas pendidikan terhadap kebudayaan (budi pekerti yang baik).
Maka, diperlukan suatu kaidah kebudayaan sebagai suatu rekomendasi.
Pertama, mengembangkan pendidikan karakter yang kohesif dengan kebudayaan kita sendiri yang telah diamalkan di Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara, dan di Pesantren oleh para Kiai.
Kedua, mencontoh keberhasilan Finlandia dalam menerapkan sistem pendidikan yang memanusiakan dan berkeadilan.
Ketiga, meninggkatkan kualitas peserta didik dan kuantitas partisipasi pendidikan melalui pemerataan pembangunan infrastruktur pendidikan.
Keempat, menyelanggarakan pendidikan yang religius dan terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia, sebagai antitesa sistem pendidikan barat yang sekular dan kapitalis.
Intisari pendidikan nasional sebenarnya bergantung pada Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Olehnya itu, pendidikan nasional haruslah menjadikan manusia-manusia Indonesia sebagai peserta didik yang religius, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial. (*)