Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tragis! Masjid di Myanmar Dibakar, Anak-anak Muslim Rohingya Hilang, Harta Benda Dijarah

"Tidak ada bantuan dari pemerintah, malah rumah rakyat telah hancur dan barang-barang mereka dijarah."

Editor: Edi Sumardi
TRIBUN TIMUR/EDI HERMAWAN
Ilustrasi 

TRIBUN-TIMUR.COM - Abdullah, laki-laki berusia 25 tahun, tak kuasa menahan air mata.

Ia adalah salah satu dari ribuan warga Muslim Rohingya yang harus menyelamatkan diri ke Bangladesh, menyusul pecahnya kekerasan di Rakhine, Myanmar, pekan lalu.

"Sangat menakutkan ... rumah-rumah dibakar, orang-orang berlarian meninggalkan rumah mereka, anak dan orang tua terpisah, beberapa di antaranya hilang, yang lainnya tewas," kata Abdullah kepada kantor berita Reuters, Rabu (30/8/2017).

Abdullah berasal dari Desa Mee Chaung Zay, di kawasan Buthidaung, di negara bagian Rakhine.

Ia mengatakan empat dari enam kampung di desanya 'dibakar oleh aparat keamanan, yang membuat warga menyelamatkan diri ke negara tetangga, Bangladesh'.

Bersama ribuan warga desa, Abdullah mengungsi ke kaki Pegunungan Mayu.

Ia mengungsi bersama istri dan anak perempuannya yang baru berusia 5 tahun.

Ia membawa beras ketan, beberapa lembar plastik bekas dan botol-botol air yang kosong.

Inilah bekal berjalan kaki selama beberapa hari melewati pegunungan untuk menuju perbatasan Bangladesh.

Jarak yang ia tempuh bersama warga Rohingya lain sekitar 20 kilometer.

"Saya masih menunggu kerabat lain. Begitu kami semua berkumpul, kami akan segera pergi (ke Bangladesh)," kata Abdullah.

Para pejabat PBB mengatakan hingga Rabu (30/8/2017), jumlah warga Rohingya yang telah melewati perbatasan dan masuk ke Bangladesh lebih dari 18.000 orang, di antaranya adalah perempuan muda bernama Noor Begum.

"Jika kami kembali ke desa kami (di Rakhine), kami pasti akan dibunuh oleh tentara. Jangan paksa kami kembali ke sana," kata Begum dengan berurai air mata kepada BBC di perbatasan Bangladesh-Myanmar.

"Lebih baik kami mati di sini, kami tak mau pulang," katanya.

Gelombang pengungsian terbaru dipicu oleh serangan mematikan terhadap pos-pos keamanan di Rakhine oleh milisi Rohingya yang dibalas dengan operasi keamanan oleh militer Myanmar.

'Trauma yang mendalam'

Wartawan AFP yang mengunjungi desa-desa yang dilanda konflik mengatakan asap rumah-rumah yang dibakar terlihat membumbung ke angkasa.

Ia mengatakan kekerasan yang tak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Setidaknya 110 orang tewas, 11 di antaranya pejabat negara bagian, sementara ribuan warga sipil mengungsi ke Bangladesh.

Organisasi Migrasi Internasional (IOM) mencatat jumlah warga Rohingya yang mengungsi mencapai sedikitnya 18.445 orang.

"Kondisi mereka mengenaskan. Mereka sangat membutuhkan makanan, layanan kesehatan, dan tempat penampungan," kata Sanjukta Sahany, pejabat IOM di Cox's Bazar, di perbatasan Bangladesh-Myanmar.

Ia mengatakan banyak warga Rohingya ini 'yang mengalami luka, baik akibat tembakan senjata api maupun karena luka bakar'.

"Terlihat dengan jelas, orang-orang Rohingya ini trauma," kata Sahany.

Sementara, dikutip dari Al Jazeera, aktivis Rohingya dan blogger yang tinggal di Eropa, Ro Nay San Lwin mengatakan, ada sekitar 5 ribu hingga 10 ribu warga terusir dari tempat tinggalnya.

Dengan menggunakan jaringan aktivis di lapangan untuk mendokumentasikan konflik tersebut, San Lwin mengatakan bahwa masjid dan madrasah habis dibakar habis, serta ribuan Muslim kehilangan tempat tinggal.

"Paman saya sendiri terpaksa melarikan diri dari pemerintah dan militer," katanya kepada Al Jazeera.

"Tidak ada bantuan dari pemerintah, malah rumah rakyat telah hancur dan barang-barang mereka dijarah."

"Tanpa makanan, tempat berlindung dan perlindungan, mereka tidak tahu kapan kita akan dibunuh."

PBB mengutuk serangan oleh milisi Rohingya dan juga mendesak militer Myanmar melindungi warga sipil tanpa membedakan etnisitas atau agama.

Nasib 1,1 juta warga Muslim Rohingya di Myanmar menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi.

Masyarakat internasional menuduh Suu Kyi 'berdiam diri atas persekusi yang dialami warga Rohingya'.

Di Myanmar, warga Rohingya tidak diakui, tak diberi status warga negara, dan dianggap sebagai imigran gelap, meski mereka mengklaim bahwa akar budaya mereka sudah ada di Myanmar sejak berabad-abad silam.

Kekerasan dalam beberapa hari ini menandai eskalasi dramatis sejak Oktober lalu ketika milisi Rohingya melakukan serangan dengan skala yang lebih kecil.

Ketika itu serangan ini juga dibalas dengan operasi militer, yang dikatakan PBB sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Militer Myanmar mengatakan mereka sebisa mungkin akan menahan diri tapi juga menegaskan 'punya hak untuk membela diri dari serangan-serangan teroris'.(bbc indonesia) 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved