Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Menyedihkan, Curhat Penyesalan Sang Ibu Gara-gara Terlalu Manjakan Anaknya Pakai Gadget

Kebanyakan anak-anak menggunakan perangkat tersebut untuk menonton video klip, program televisi, main game, maupun aplikasi.

Editor: Edi Sumardi
FACEBOOK.COM/MUTMAINNAH NAJWIDDIN

TRIBUN-TIMUR.COM - Setelah melakukan survei kepada 1.034 orangtua yang memiliki anak usia enam bulan hingga empat tahun, sebuah lembaga independen Childwisemenemukan, hampir 10 persen dari orangtua menyediakan tablet di kamar anak, sehingga “memencet layar” menjadi hal yang lumrah sebelum tidur.

Tak hanya itu, anak-anak juga dibebaskan tidur dengan tablet mereka, sehingga kamar telah beralih fungsi dari zona istirahat menjadi zona bermain elektronik.

 Bila di tahun 2012 hanya 27 persen anak di usia tersebut yang menggunakan tablet dan telepon seluler, pada tahun 2015 jumlahnya meningkat hingga 73 persen.

Dan 29 persen di antaranya, sudah memiliki tablet pribadi pemberian orang tua.

Kebanyakan anak-anak menggunakan perangkat tersebut untuk menonton video klip, program televisi, main game, maupun aplikasi.

Rata-rata lama penggunaan ialah 30 menit hingga satu jam.

Tak heran bila penelitian tersebut juga mendapati, satu di antara 10 anak usia pre-school sangat lekat dengan tayangan televisi maupun aplikasi tablet, sehingga sangat berisiko mengalami kecanduan layar elektronik.

Menanggapi kondisi itu, Dr Aric Sigman, spesialis pendidikan kesehatan anak dari Royal Society of Medicine menyatakan, sangat penting bagi orangtua untuk membuat aturan baru tentang kebiasaan bergadget anak untuk menghindari anak terobsesi akan teknologi. 

Selain meningkatkan kemungkinan anak untuk mengakses situs yang membahayakan, sebuah studi yang dikeluarkan oleh The Seattle Children’s Institute di Amerika menyatakan, menonton acara apapun di tablet atau televisi lewat dari pukul 19:00, bisa menyebabkan anak usia 3-5 tahun sulit tidur, mimpi buruk, dan kelelahan saat bangun.

Sedikit banyak, ini akan mengganggu aktivitas sekolah mereka.

Untuk itu, Sigman meminta para orang tua untuk memberi contoh kebiasaan baik soal gadget, seperti menyimpan ponsel ketika bermain dengan anak, menggunakan ponsel saat sedang tidak bersama anak, dan membuat aturan kapan anak boleh bermain gadget.

 Bila tidak, kecanduan gadget bisa berlangsung hingga anak besar.

Anak-anak menjadi hilang kesempatan untuk bereksplorasi di dunia nyata, sulit bergaul, bahkan penyimpangan prilaku karena mengakses situs berbahaya.

Terkait dengan itu, beberapa waktu lalu seorang ibu curhat melalui media sosial Facebook pada akun Muthmainnah Najwiddin terkait anaknya yang kecanduan gadget.

Curhat dia menjadi viral.

Berikut ini selengkapnya:

Awal perkenalan dengan gadget pas Shafraan umur 10 bulan. Awalnya terbiasa liat kakak kakaknya main game di tab.

Dari sekedar jadi penonton lama kelamaan dia jadi tertarik untuk mencoba.

Seiring bertambahnya usia gadget merupakan barang yg tidak bisa terpisahkan dlm kesehariannya.

Bermain berbagai jenis game bisa sampai berjam2 bahkan game bagaikan lagu nina bobo buat dia.

Pokoknya main game dulu baru bisa tidur. Dan itu berlangsung setiap hari.

Awalnya saya membiarkan. Saya memberikan. Saya memfasilitasi.

Karena bagi saya gadget adalah senjata ampuh saya untuk menenangkan dia.

Saat dia marah dan menangis saya pasti akan membujuknya dengan bermain game.

Dan memang dia akan langsung tenang.

Di umurnya yg ke 2 tahun sebenarnya saya sudah melihat tanda tanda ke'kaku'an dari caranya berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Contohnya saja bagaimana dia merespon permainan manual(mobil2an,pesawat,dan jenis permainan lain yg dia punya).

Pernah sekali saya mendapati dia hanya memegang mobil2annya sambil diam saja.

Tidak ada gerakan layaknya seorang anak laki2 yg diberi mobil2an yg pasti sudah memainkannya sambil meniru suara mobil. Dia kebingungan tebak saya.

Karena selama ini dia hanya terbiasa menggerakkan jari2nya mengikuti alur permainan dari dalam gadgetnya.

Keanehan lainnya dan yg paling mengkhawatirkan adalah kurangnya kosa kata yg bisa dia ucapkan. Padahal anak2 seumuran dia seharusnya sudah bisa berbicara dgn kosa kata yg lebih variatif.

Dalam hati saya sudah was was...khawatir dengan perkembangan anak lelaki semata wayang saya.

Sempat konsultasi dengan dokter anak mengenai adakah hubungan antara riwayat alergi tinggi yg di derita Shafraan dengan kondisinya ini.

Dan jawabannya adalah tidak ada. Kemungkinan besar pengaruhnya adalah kurangnya interaksi dari orangtua dan anggota keluarga yg kurang berkomunikasi/menstimulasi Shafraan agar memperbanyak kosa katanya.

Dan hati kecil saya berbisik...gadget-lah penyebabnya.

Sejak saat itu saya mulai membatasi penggunaan gadget di rumah.

Seringkali saya mesti kewalahan menghadapi tantrumnya Shafraan krn saya berkeras tidak memberikan gadget ke dia.

Dia ngamuk,nangis,melempar semua barang ke arah saya dan siapa saja yg ada di dekatnya termasuk kakak2nya.

Dia susah makan,susah tidur dan rewel. Sangat rewel.

Itu berlangsung sekitar 3 hari. Dan pada akhirnya kasihan.

Itulah alasan akhirnya saya memberikan lagi gadget ke dia.Dan keadaan rumah jadi tenang kembali.

Puncaknya sekitar 2 bulan yg lalu saya ke RS buat imunisasi si debay Raisha.

Ketemu sama dokter dibagian tumbuh kembang anak yg komunikatif sekali. Semua permasalahan kami konsultasikan termasuk bertanya tentang kondisi Shafraan.

Akhirnya dokter coba mengetes motorik halusnya.D an hasilnya semua stimulator bisa Shafraan buat dan pertanyaan dari dokter bisa dia jawab walaupun kata2nya belum terlalu jelas.

Alhamdulillah berarti Shafraan normal2 saja. Mungkin hanya masalah waktu saja sampai dia bisa bicara dgn jelas krn setahu saya anak laki2 memang agak lambat soal masalah bicara dibanding anak perempuan. Begitu pikir saya.

Tapi ternyata dokter punya diagnosa lain. Menurut dokter Shafraan sekarang dalam kondisi Speech Delay atau keterlambatan bicara.

Tidak tanggung2 perkembangan bicara Shafraan terlambat 1 tahun dari umurnya yg sudah 3 tahun 4 bulan waktu itu.

Dokter menganjurkan agar Shafraan ikut Terapi Okupasi/Sensori Integrasi untuk menstimulasi kemampuan bahasa dan kosa katanya.Setelah itu baru dilanjutkan ke Terapi Wicara.

Ya Allah...pernyataan dari dokter itu bagaikan guntur disiang bolong.

Baru saya sadar sayalah penyebab Shafraan jadi begini. Saya tidak mau direpotkan dgn suara tangisan/rengekannya.

Saya tidak mau melihat rumah berantakan krn mainannya. Saya tidak mau repot. Saya tidak mau capek. Saya EGOIS.

Itulah kesalahan terbesar saya sebagai seorang ibu. Dan baru sekarang mata saya terbuka lebar tentang kondisi anak saya.

Bagaimana bisa saya tidak peduli pada hal ini selama bertahun2?Bagaimana bisa saya menyia-nyiakan masa2 emas pertumbuhannya dgn menyibukkannya dengan gadget yg jelas jelas tidak ada gunanya selain kesenangan sementara?

Menyesal. Sangat menyesal.

Saya hanya berbagi pengalaman saja. Jangan sampai apa yg terjadi pada Shafraan terjadi pada anak2 lain.

Save our children from gadget. Biarkan mereka menikmati golden age mereka dgn cara alami krn belum waktunya mereka bersentuhan dgn canggihnya teknologi.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved