Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Salasila Boegis, Naskah Penyebaran Orang Bugis di Kutai

Disampaikan pada Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan Indonesia Timur (Selogika) IV Unhas

Penulis: Hasrul | Editor: Suryana Anas
TRIBUN TIMUR/HASRUL
Pembukaan kegiatan Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan di Indonesia Timur IV (Selogika) di Gedung Ipteks Unhas, Rabu (5/10/2016). Seminar bertema Menggali Sejarah Bahasa Sastra, dan Budaya dalam Rumpun Merlayu Nusantara. 

Laporan Wartawan Tribun Timur, Hasrul

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR --Sastrawan dan Kolomnis, Frieda Amran mengupas naskah yang ditulis oleh Solco Walle (SW) Tromp (1848-1897) berjudul Eenige Medeelingen omtrent de Boegineezen van Koetei (Beberapa catatan mengenai Orang Bugis di Kutai).

Frieda yang juga seorang antropolog kelahiran Sumatra Selatan tahun 1959 mengatakan, naskah tersebut bercerita tentang kronik asal-mula kedatangan orang Bugis di Kutai dan Kesultanan Kutai.

"Boegis atau taooe Woegis merupakan nama kolektif para pendatang dari seberang Selat Makassar," kata Frieda di Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan Indonesia Timur (Selogika) IV di Gedung Ipteks Unhas, Kamis (6/10/2016).

"Sebagian besar pendatang dari tanah seberang itu berasal dari Wajo, sebagian kecil dari Bone dan Soppeng. Di dalam perilaku kehidupan sehari-hari, taoe Woegis di Kutai umumnya berpegang pada 'abiyasanna taoe Wajo atau adat Wajo," lanjutnya.

Frieda menceritakan orang-orang Bugis pertama ke Kutai untuk berdagang, awalnya hanya satu-dua perahu, kemudian bertambah hingga menjadi 4-5 perahu dan terus bertambah.

Para pedagang itu membangun suatu kampung sebagai tempat tinggal sementara saat di Kutai. Pada saat-saat tertentu, mereka pulang ke Sulawesi secara bersama-sama. Kampung di Kutai ditinggalkan dengan penjagaan seadanya.

Suatu saat Sultan Kutai mengumpulkan para mantrinya guna membicarakan (sistem) perdagangan orang Bugis di daerahnya.

"Apa kau kamu menyukai cara orang Bugis berdagang di negeri kita? Ataukah kamu tidak suka, karena mereka hanya ingin enak-enak saja dan bila kita sedang menderita atau kesusahan, mereka takkan ikut menanggung derita dan susah itu," kata sang Sultan Kutai seperti dituturkan Frieda mengutip isi buku SW Tromp yang ditulis dalam bahasa Belanda.

Menurut Frieda seperti yang dituangkan di dalam buku SW Tromp tersebut, orang-orang Bugis menyetujui usulan Sultan, Setelah pulang dan bermusyawarah, mereka bermufakat mencari dan mengangkat seorang kepala yang kemudian bernama Adoe.

Frieda melanjutkan Kesultanan Kutai sebenarnya tidak banyak dapat ikut campur dalam pemerintahan dan kehidupan sehari-hari orang Bugis yang tinggal di wilayahnya. Kelompok masyarakat tersebut dapat dikatakan otonom menjalankan pemerintahannya.

Ketika itu letak permukiman Bugis lebih ke hilir Sungai Mahakam daripada Tenggarong, ibu kota Kutai. Ini sangat menguntungkan Poea Adoe dan kelompoknya dalam mengawasi impor dan perdagangan komoditas-komoditas tertentu, misalnya garam.

Hubungan antara kedua entitas ini, menurut Frieda, tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kali terjadi pertentangan di antara kedua kelompok masyarakat tersebut.

Biang pertentangan adalah perkara perpajakan impor dan komoditas impor. Berkembangnya koloni Bugis di Samarinda membuat kota itu berkembang menjadi tempat perdagangan yang penting.

Pada hari terakhir Selogika IV tersebut diisi dengan dialog yang juga melibatkan Guru Besar Antropologi Unhas, Prof Dr Pawennari Hijjang MS, Sejarawan Unhas, Dr Andi Suryadi Mappangara SU, Dosen Pascasarjana Universitas HAMKA Jakarta, Dr Maman A Majid Binfas dan Ketua Prodi Bahasa Indonesia Universitas Mulawarman, Syamsul Rijal M Hum. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved