Warga Sidrap Pengikut Gafatar: Kami Tetap Salat Lima Waktu
Bersama ratusan pengikut Gafatar asal Sulsel, Hamka dan keluarganya telah dipulangkan.
Penulis: St. Fathin Hamidah | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUNSIDRAP.COM, SIDRAP - HAMKA, warga Kecamatan Paleteang, Kabupaten Pinrang, Sulsel, menjual rumahnya di Pinrang seharga Rp 350 juta, Agustus 2015.
Dia lalu memboyong istrinya yang asal Dusun Simpo, Desa Passeno, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidrap, beserta anak dan keluarganya yang lain, mengikuti kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Hamka sekeluarga berjumlah 13 orang kemudian menetap di pemukiman Gafatar di Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur.
“Yang ajak sayang gabung Gafatar bernama Abd Jalil, dia koordinator lapangan organisasi itu,” kata Hamka kepada tribunsidrap.com di Dusun Simpo, kampung halaman istrinya, Jumat (29/1/16) malam.
Bersama ratusan pengikut Gafatar asal Sulsel, Hamka dan keluarganya telah dipulangkan.
Menggunakan KM Bukit Siguntang, keluarga ini tiba di Makassar, Kamis (28/1/16) malam.
Karena tak lagi memiliki rumah di Pinrang, Hamka dan anggota keluarga lainnya terpaksa menumpang sementara di rumah mertuanya.
Hamka bercerita, di pemukiman Gafatar di Kabupaten Kukar, dia bersama ratusan keluarga lainnya bertani.
Lahannya dia beli seharga Rp 10 juta hasil patungan dengan pengikut Gafatar lainnya.
“Disana kami tanam padi, kerjasama dengan dinas pertanian setempat. Mereka pinjamkan traktor. Dengan penduduk setempat kami nggak ada masalah," ujar Hamka diamini ayahnya Hamzah.
Tuduhan Gafatar aliran sesat dibantah pria ini.
"Semuanya tidak benar, kami tidak pernah diajarkan hal-hal yang melenceng dari agama Islam. Hanya satu yang dilarang, tidak boleh merokok," kata Hamka.
Dengan uang patungan Rp 10 juta, Hamka mendapat lahan seluas 4 hektar. Lahan tersebut digarap bersama empat keluarga lainnya.
"Disana kami diberikan rumah panggung yang hanya boleh ditempati maksimal dua kepala keluarga," jelasnya.
Hamka mulai mengikuti Gafatar atas ajakan Abd Jalil tahun 2012.
Dia bergabung karena tertarik dengan visi dan misi Gafatar.
“Awalnya saya sendiri ke Kutai. Setelah tiga bulan saya kembali untuk mengajak keluarga kesana karena kami diminta mengajak keluarga dan memulai hidup baru disana,” bebernya.
Selama menjadi anggota Gafatar, Hamka mengatakan tak pernah mendapat doktrin agama yang menyimpang.
"Semua yang diberitakan media itu tidak benar. Selama berada disana kami diperlakukan baik. Kami salat lima waktu, bahkan ada masjid kami bangun bersama warga pribumi,” ujarnya.
Ayah Hamka, Hamzah mengatakan meski sudah tidak memiliki rumah, namun tidak merasa khawatir karena pemerintah pusat dan pemerintah Kutai Kartanegara berjanji akan mengembalikan semua kerugian pengikut Gafatar yang telah memiliki lahan disana.
Sambil menunggu janji pemerintah, Hamzah akan mencari pekerjaan baru dan lahan untuk tempat tinggal. "Saya masih pikir-pikir dimana akan menetap, apakah di Sidrap atau di Pinrang," ujarnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/polisi-kunjungi-pengikut-gafatar-di-sidrap_20160129_232603.jpg)