TRIBUN-TIMUR.COM - Pemerintah Perancis sepertinya melakukan upaya balas dendam atas teror berdarah yang menewaskan setidaknya 135 orang di Paris, Jumat (13/11/2015), termasuk warganya.
Angkatan Udara Prancis mengerahkan sebanyak 12 pesawat, termasuk 10 pesawat tempur, untuk melancarkan gempuran ke Kota Raqqa, Suriah, pada Minggu malam (15/11/2015).
[Video berita saat Angkatan Udara Perancis melancarkan gempuran ke Kota Raqqa, Suriah.]
Gempuran yang terjadi dua hari setelah teror berdarah.
Dalam gempuran tersebut, armada pesawat Prancis dikerahkan secara bersamaan dari Uni Emirat Arab dan Jordania.
Mereka menjatuhkan sebanyak 20 bom ke Kota Raqqa yang dianggap sebagai kantung kekuatan kelompok ISIS.
[Video ini diklaim sebagai kondisi saat gempuran terjadi.]
Kementerian Pertahanan mengklaim bom-bom itu menghantam sejumlah target, termasuk pusat komando, depot amunisi, dan kamp pelatihan milisi.
Kepada BBC di sela-sela pertemuan G20, Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius menegaskan serangan ke Kota Raqqa ialah sesuatu yang lumrah.
“Mengingat Prancis tidak hanya diancam, tapi juga diserang Daesh (akronim untuk ISIS), lumrah baginya (Prancis) untuk melangkah maju. Dalam konteks pertahanan diri, perlu bagi Prancis untuk mengambil aksi. Kami telah melakukannya pada masa lalu, dan kami melakukannya hari ini lantaran Raqqa adalah pusat komando Daesh. Kami tidak bisa berdiam diri saat diserang, seperti yang Anda lihat dalam tragedi di Paris,” kata Fabius.
Sebelumnya, ISIS menyatakan bertanggung jawab atas teror di Paris.
ISIS mengatakan telah menerjunkan orang-orang yang disebut sebagai pelaku jihad.
Lebih lanjut ISIS mengatakan Prancis dan pihak-pihak sekutunya tetap menjadi sasaran ISIS.
Rekrut 1.900 Pegawai
Tiga badan intelijen Inggris akan merekrut 1.900 pegawai tambahan untuk membantu memerangi ancaman kelompok milisi ISIS.
Pengumuman itu disampaikan tiga hari setelah insiden penembakan di Paris menyebabkan 129 orang meninggal dunia.
Rencana perekrutan ribuan orang tersebut dimungkinkan setelah Pemerintah Inggris memutuskan untuk meningkatkan pendanaan pegawai badan intelijen MI5, MI6, dan GCHQ, sebesar 15 persen.
"Ini adalah pergulatan generasi yang menuntut penyediaan sumber daya manusia lebih banyak untuk memerangi mereka yang ingin menghancurkan kita dan nilai-nilai kita," kata Perdana Menteri Inggris David Cameron.
Selain untuk badan intelijen, penambahan dana juga akan diberikan untuk keamanan penerbangan.
Dana tersebut bakal digunakan untuk membayar sejumlah pakar untuk memantau keamanan bandara di negara-negara yang banyak dikunjungi warga Inggris.
Berkaitan dengan tragedi di Paris, Menteri Dalam Negeri Inggris, Theresa May, mengatakan aparat Inggris turut membantu pihak keamanan Prancis dan Belgia untuk mengindentifikasi dan memburu para pelaku.
Ketika ditanya apakah ada milisi ISIS yang bersembunyi di antara para migran di Inggris, dia mengatakan pemerintah Inggris menerima warga yang rentan dari kamp-kamp pengungsian Suriah. Pemeriksaan ketat, menurutnya, juga diberlakukan.
Dalam rangkaian serangan di Paris, salah seorang korban tewas adalah Nick Alexander asal Inggris yang saat itu sedang menjual merchandise di konser "Eagles of Death Metal" di gedung konser Bataclan.(bbc)