Putra Administrator Inggris: Kok Tuhan Bisa Mati?
putra administrator kolonial kerajaan Inggris, Gavin Green, Anthony Vatswaf Galvin Green,
Penulis: Ilham Mangenre | Editor: Ilham Mangenre
Sebuah peristiwa penting pun terjadi. Selama 10 tahun bolak-balik berlibur di Mesir, Green hanya mengenal satu orang yang mau ngobrol dengannya secara terbuka tentang Islam.
Suatu hari Green terlibat perbincangan dengan orang itu, dan ia seperti merasa tinju seorang Mike Tyson mendarat di mukanya.
Dalam perbicangan selama 40 menit, orang itu akhirnya bertanya pada Green, "Kamu percaya *** itu Tuhan?" Green menjawab, "Ya." Lalu orang itu bertanya lagi, "Dan kamu percaya *** mati di***?". Green menjawab, "Ya."
"Jadi kamu percaya Tuhan itu mati," tanya orang itu lagi.
Pertanyaan itu seakan menampar muka Green, dan ia tiba-tiba menyadari bahwa fakta itu sangat bodoh dan tidak masuk akal, bagaimana Tuhan bisa mati, mana mungkin manusia bisa membunuh Tuhan.
Mendadak Green tersadar bahwa selama ini ajaran Katolik telah mengindoktrinasinya dengan doktrin-doktrin yang membuat hidupnya tak nyaman.
Dalam usia muda, antara 19-20 tahun, Green menjalani kehidupannya sebagai hippis.
"Saya berkata pada diri sendiri, lupakan soal agama, soal spiritualitas, lupakan semuanya. Mungkin hidup itu tidak ada maknanya, tak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali menjadi orang kaya," kata Green.
Persoalannya kala itu, Green tidak punya uang banyak. Ia lalu berpikir untuk mendapatkan uang banyak.
Ia berpikir tentang negara-negara yang dianggapnya kaya dan mudah untuk mendapatkan uang, mulai dari Inggris, Amerika yang menjadi negeri impian, Jepang si negara kaya dari hasil kemajuan teknologinya, sampai Arab Saudi yang juga salah satu negara kaya.
Di titik Arab Saudi, Green mulai berpikir tentang apa agama yang dianut orang Arab, apa kita suci mereka? Green langsung mengingat Al-Quran dan ia pun pergi ke sebuah toko buku untuk membeli Al-Quran yang dilengkap dengan terjemahannya.
"Saya adalah seorang yang bisa membaca dengan cepat. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya naik kereta, duduk dekat jendela dan membaca terjemahan Al-Quran. Saya memandang ke luar jendela sejenak, lalu membaca lagi. Saya bisa mengatakan inilah momen ketika saya menyadari dan memercayai bahwa Quran berasal dari Allah Swt," tutur Green.
Tak sekedar membaca, Green ingin mencoba apa yang diajarkan dalam Al-Quran. Pulang ke rumah, Green mencoba menunaikan salat meski ia tak tahu caranya.
Ia cuma ingat pernah melihat juru masak keluarganya di Mesir menunaikan salat, dan Green mencoba meniru gerakan salat yang pernah dilihatnya itu.
Memeluk Islam