presiden PKS terlibat suap
PKS Harus Bertanggung Jawab!
Pernyataan Anis seolah-olah hanya ingin menekankan bahwa elit PKS bersih dari segala kasus.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tengah didera prahara lantaran Presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor daging sapi. Banyak orang tidak percaya dengan kasus itu. Pasalnya, selama ini PKS terkenal agamis, jauh dari perilaku tercela, apalagi kasus korupsi. Slogan sebagai partai politik (parpol) yang bersih dan peduli, seketika rontok.
Akan tetapi, kenyataan pahit mesti ditelan PKS. Adagium politik yang mengatakan, kekuasaan cenderung korup tidak bisa dibendung PKS. PKS juga kepayahan membendung adagium politik lainnya yang mengatakan, meskipun kekuasaan itu diisi oleh para malaikat, ternyata ketika digoda sedikit saja bisa berubah menjadi iblis.
Akibat prahara itu pula, minggu lalu, Ketua Majelis Syuro PKS menetapkan Anis Matta sebagai Presiden PKS yang baru. Namun, persoalan baru muncul dan berujung pada polemik. Dalam pidato politik saat penetapannya sebagai Presiden PKS, Anis menuding penangkapan Luthfi adalah bentuk konspirasi jahat yang ingin menghancurkan PKS.
Alih-alih mendapat tanggapan positif dari publik, tudingan itu justru melahirkan cibiran buat PKS. Sebab, tudingan itu tidak disertai bukti. Anis tidak bisa memberikan fakta dan data, pidatonya bak tong kosong nyaring bunyinya saja. Malah, belakangan, Anis mengatakan tidak ingin lagi membahas soal tudingan konspirasi yang sempat dilontarkannya.
Kambing Hitam
Akibatnya, muncul anggapan PKS hanya ingin mengalihkan isu, lepas tangan, dan tidak bertanggung jawab, seraya mencari-cari kambing hitam atas prahara itu. Tudingan Anis sejatinya hanyalah alat bagi PKS untuk menyolidkan kader-kader PKS yang kecewa melihat tingkah laku elit partai yang katanya selalu “bersih dan peduli”.
Padahal, dengan begitu, tampak sekali kalau Anis dan elit PKS gagap menerima kenyataan pahit. Sehingga, pernyataan ngawur terlontar begitu saja tanpa melalui proses bernalar dan introspeksi diri. KPK tentu tidak mungkin ceroboh dalam menangkap dan memutuskan seseorang sebagai tersangka tanpa ada alat bukti yang kuat. KPK juga pasti telah bertindak profesional.
Sebagai contoh, dalam kasus Hambalang, Nazaruddin dan Angelina Sondakh memang tidak langsung menerima uang suap. Tetapi mereka divonis bersalah. Kasus Luthfi pun begitu. Meski ia tidak berada di lokasi, tidak serta-merta Luthfi tidak terkait. Dalam kasus suap semacam itu, uang bisa diterima langsung atau pun tidak oleh yang bersangkutan, itulah yang akan dibuktikan di pengadilan.
Mestinya, PKS meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia karena tidak mampu menjaga laku politiknya sesuai dengan slogan yang selalu dikoarkan. Bukannya malah menuding serampangan. PKS seharusnya menerima lapang dada segala hal yang terjadi.
Pernyataan Anis seolah-olah hanya ingin menekankan bahwa elit PKS bersih dari segala kasus. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Kenyataan yang terjadi, Luthfi sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dan, nama PKS pun tercemar.
Anis tampaknya juga tidak sadar, kasus dugaan korupsi yang mendera dan mencemarkan nama PKS bukan hanya karena ulah Luthfi, melainkan juga dirinya sendiri. Belum lekang dalam ingatan, terpidana kasus suap alokasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dari APBN 2011, Wa Ode Nurhayati, pernah menuding Anis Matta dan kader PKS lainnya, Tamsil Linrung, juga terlibat.
Tudingan Anis yang diamini petinggi PKS lainnya semakin menegaskan bahwa rasa tanggung jawab di negeri ini semakin langka. Kita begitu mudah menuding pihak lain bila ada kegagalan atau kesalahan. Alasan pun dicari-cari untuk menyalahkan orang lain.
Padahal, tanggung jawab memunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan, nurani alias kata hati. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: "Mintalah petunjuk pada hatimu." Dalam konteks ini, elit PKS seyogyanya introspeksi diri seraya menanyakan kepada nuraninya masing-masing, apakah kasus ini akibat kesalahan partai dalam melakukan pembinaan terhadap kadernya atau konspirasi jahat dari pihak lain?
Kesalahan Partai
Dalam konteks korupsi yang menyeret nama parpol, seperti kasus Luthfi, berikut juga nama lain di parpol yang berbeda dan kini ramai dibincangkan publik, sejatinya tidak bisa cuma dilihat sebagai kesalahan pribadi pelaku semata. Apalagi serta-merta menimpakannya kepada pihak lain sebagai kambing hitam.
Kalau ditelaah, hampir semua parpol sekarang sedang berurusan dengan kasus korupsi. Para kader, terutama ketua parpol kini banyak dibidik KPK. Mereka kerap disangkakan sebagai otak korupsi dalam pendanaan parpol.
Seperti diketahui, parpol memerlukan dana besar untuk menjalankan roda organisasi. Apalagi ongkos politik di negeri ini luar biasa mahalnya. Ada yang mengatakan, biaya operasional rutin parpol mencapai Rp 4-5 miliar per bulan.
Dalam kasus PKS, seorang Luthfi Hasan Ishaaq adalah ketua umum PKS. Sebagai ketua umum, dialah yang paling bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup partai. Untuk mendapatkan dana operasional partai tentu dipakailah segala strategi.
Kalau pun nanti tercium oleh penegak hukum, diupayakan semaksimal mungin agar kasusnya tidak melebar. Jika tidak dapat dielakkan, partai harus tetap diselamatkan. Jadikanlah kasusnya sebagai kasus pribadi saja, sehingga partai tetap dapat berjalan lenggang.
Agaknya, pola seperti itu jualah yang terjadi di tubuh PKS. Uang suap yang konon mencapai Rp 40 miliar itu tentu tidak akan dimakan sendiri oleh Luthfi. Tetapi, bisa jadi diperuntukkan juga buat dana operasional partai, sekaligus memperkuat kedudukannya sebagai presiden partai.
Jadi, menimpakan kesalahan dengan menunjuk kambing hitam, apalagi menuding ada konspirasi, hanya akan mengaburkan persoalan, melemahkan efek kejahatan, sehingga tidak dapat melokalisasi tanggung jawab pelaku sebenarnya.
Korupsi oleh kader parpol, apalagi petingginya, pasti melibatkan jaringan, organisasi partai, dan bentuk praktik penyelenggaraan negara yang busuk. Oleh karenanya, dalam kasus Luthfi, PKS pun harus turut bertanggung jawab!***
Oleh;
Moh Ilham A Hamudy
Berkhidmat di BPP Kementerian Dalam Negeri