Bumihanguskan Kampung, Lazim di Perang Makassar
Prof Dr Syamsuddin Muhammad Noor (SM Noor) dan Prof Dr Muh Nur Sadik masing-masing dikukuhkan sebagai guru besar
Editor:
syakin
Makassar, Tribun - Prof Dr Syamsuddin Muhammad Noor (SM Noor) dan Prof Dr Muh Nur Sadik masing-masing dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin di Kampus Unhas, Tamalanrea, Selasa (2/10).
Upacara penerimaan jabatan guru besar dipimpin langsung Rektor Unhas Prof Dr dr Idrus A Paturusi bersama para anggota senat Unhas dan dewan guru besar Unhas.SM Noor yang juga dikenal sebagai kolumnis dan penggiat surat kabar kampus identitas Unhas membawakan pidato berjudul Hukum Internasional Perang Makassar (Studi Modern Awal Hukum Perang)
SM Noor yang akrab dipanggil Bang Noor oleh juniornya, mengatakan, tradisi pembumihangusan kampung dan pemenggalan kepala (tunibatta, todipolong, atau todigerek)) para kesatria maupun panglima perang merupakan hal yang lazim terjadi pada Perang Makassar yang melibatkan dua kerajaan besar yakni Bone dan Gowa. Tradisi ini dilakukan bertujuan untuk meruntuhkan moral perang musuh.
"Bahkan pembakaran kampung kadang-kadang disertai dengan pembakaran orang yang masih loyal terhadap musuh," kata SM Noor.
Dari penelitiannya, wilayah dengan nama kanre apia (Makassar), kanre api (Bugis), atau kande api (Mandar) merujuk pada bumi hangus tersebut. Kanre Apia terdapat di Desa Lembanna, Gowa.
SM Noor menyebutkan, hukuman penggal kepala atau bumi hangus kampung terkesan kejam namun pada konteks zamannya dipandang biasa. Praktik seperti ini juga berlaku pada peperangan pada masa Imperium Roma. Pernyataan kekalahan biasa ditegaskan dengan menyerahkan kepala panglima perang untuk diserahkan ke Kaisar.(ana)
IPK 2,03 Jadi Professor
SM Noor menyebut mantan Rektor Unhas sekaligus mantan Gubernur Sulawesi Selatan Prof AA Amiruddin, mantan Rektor Unhas Prof Fachruddin, Prof Basri Hasanuddin (dulu Pembantu Rektor I Unhas) sebagai Trio Juru Selamat
"Mereka menyelamatkan saya dari tragedi besar hidup saya; drop out, ketika menjadi mahasiswa yang penuh dinamika dan pergolakan hidup sebagai aktivis," katanya.
"Trio Malaikat ini pula dengan kewenangannya masing-masing yang memaksa administrasi akademik universitas untuk menerima saya menjadi dosen Unhas dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 2,03," tambah SM Noor.
SM Noor juga menyebut Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo sebagai sahabat yang turut berperan mengantarnya menjadi Guru Besar. "Syahrul Yasin Limpo orang pertama di luar Unhas yang memberi dana awal penelitian program doktoral saya," katanya.
Noor tak lupa menyebut peran Rektor Unhas Prof Idrus A Paturusi. "Kakanda saya tercinta adalah pemburu tanpa pamrih, memburu saya di mana pun berada agar segera meraih doktor, sehingga saya sering menghindar untuk tidak mendengar pertanyaannya yang terlalu sering, 'Sudah sampai di mana sekolahmu!' kata Noor menirukan ucapan Prof Idrus.(ana)
Data Diri
Nama: Syamsuddin Muhammad Noor
Lahir: Bulukumba, 2 Juli 1955
Istri: dr Sitti Ratna Abidin
Buku: Sengketa Asia-Timur (2000), Putri Bawakaraeng (novel, 2003), Pelarian (novel, 1999), Somba Opu, Imperium Terakhir Kerajaan Terbesar Indonesia Timur (dalam tahap perampungan untuk diterbitkan Kompas Gramedia)
Berita Terkait