Kisah Perantau NTB di Palu, Makan Pisang dan Ambulans Misterius
Ia harus menerima kenyataan menjalani hidup di pinggiran Kota Palu dengan kondisi ekonomi yang kian menghimpit.
Penulis: abdul humul faaiz | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUNPALU.COM, PALU - Syamsuddin (40), perantau asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini berusaha tetap senyum kepada anak-anaknya saat pulang bekerja.
Ia harus menerima kenyataan menjalani hidup di pinggiran Kota Palu dengan kondisi ekonomi sulit.
Bekerja sebagai penambang pasir di Sungai Kelurahan Pantoloan, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum juga dapat mencukupi kebutuhan keluaraga.
Di sebuah rumah berukuran 5x7 meter yang terbuat dari papan bekas, Syamsudin hidup bersama istri dan lima anaknya.
Sebenarnya, Syamsuddin dan istrinya, Nurhayati (20) memiliki 7 anak.
Yaitu Rendi (10), Bima (10), Rara (8) Andri (6), Aisya (4), Aziza (2) dan Rizki yang belum cukup satu bulan.
Namun, anak pertama Rendi (9) dan ke empat Andri (6) dipelihara oleh kerabatnya di Kabupaten Buol.
"Kerabat saya itu baik sekali dengan kita, karena tidak ada anaknya, mereka minta untuk pelihara anak saya," kata Syamsudin.
Bima dan Rara saat ini bersekolah di SDN 10 Pantoloan.
Biasanya kakak beradik itu hanya membawa nasi jagung untuk bekal ke sekolah.
Beruntung keduannya sudah bisa memahami kondisi ekonomi kelurga.
Beginilah nasip keluarga perantau yang sudah hampir 6 tahun menetap di sebuah rumah yang jauh dari pemukiman ramai itu.
Ia mengaku membuat rumah tersebut dari bahan-bahan bekas hasil pemberian orang.
Pun atap rumah, Syamsuddin menggunakan seng bekas pemberian warga.
"Makanya banyak lubang, kalau hujan pasti basah dalam rumah," jelas Syamsuddin.