Ratusan Perawat di Mamuju Tuntut Kejelasan Nasib
Dalam tuntutan yang mereka bacakan, mendesak Pemkab Mamuju agar memperjelas status mereka sebagai honorer.
Penulis: Nurhadi | Editor: Nurul Adha Islamiah
Laporan Wartawan TribunSulbar.com, Nurhadi
TRIBUNSULBAR.COM, MAMUJU - Ratusan perawat di Mamuju yang tergabung dalam Gerakan Nasional Perawat Honorer Indonesia (GNPHI) berunjuk rasa di kantor bupati, Jl Soekarno Hatta, Kelurahan Karema, Mamuju, Sulbar, Kamis (6/12/2018).
Mereka menuntut kejelasan nasib sebagai profesi perawat. Dalam tuntutan yang mereka bacakan, mendesak Pemkab Mamuju agar memperjelas status mereka sebagai honorer.
Selain itu, mereka juga mendesak Pemkab Mamuju, untuk mengeluarkan moratorium penerimaan tenaga honorer perawat.
- Baca: Alasan Ferdinand Hutahaean Tinggalkan Jokowi dan Kini Dukung Prabowo di Pilpres 2019
Baca: Serahkan Bantuan ke Pansel Dirut PDAM Jeneponto, Begini Harapan PPI Jeneponto.
Perawat yang jumlahnya sekitar 500 orang , awalnya bergerak dari Jl Kurungan Bassi menuju depan kantor Bupati Mamuju, Jl Soekarno Hatta, dengan membawa sejumlah kertas petisi bertuliskan tuntutan mereka.
"Profesi kami bukan kalang-kaleng, kerja perawat bukan main-main tapi gaji main-main, jangan anak tirikan perawat, perawat Indonesia bangga merawat bangsa, kami bukan budak perlakukan kami semestinya, stop diskriminasi perawar,"begitu isi petisi mereka.
Para pengunjuk rasa yang didominasi oleh perempuan, masuk ke dalam halaman kantor bupati. Kemudian 25 perwakilan mereka diterima oleh Sekertaris Daerah, H Suaib, Kadis Kesehatan dr Firmon dan Asisten 3 H Tonga, beraudiance.
Ketua GNPHI Kabupaten Mamuju, Usman yang memimpin unjuk rasa mengatakan, mereka sangat kecewa kepada pemerintah, sebab bertahun-tahun mengabdi untuk masyarakat namun tidak diupah dengan layak.
"Pekerjaan kami bukan pekerjaan mudah, sebab yang kami hadapi adalah nyawa, bukan benda mati. Pergi malam pulang pagi, rela tak tidur demi menjaga pasien, meski kadang diremehkan, tapi kami tidak diberikan upah layak," kata Usman.
Usman mengatakan, aksi tersebut adalah bentuk ultimatun terhadap kebijakan pemerintah daerah yang tidak pernah melihat dan merasakan apa yang dirasakan sebagian besar perawat.
"Kami menuntut upah yang layak, sesuai dengan Upah Minimun Kabupaten (UMK). Karena kami sama dengan perawat lain memiliki keluarga yang harus dihidupi,"ujarnya.
Salah seorang perawat perempuan yang melakukan orasi, dengan menitikan air mata menyampaikan agar pemerintah mempertimbangkan tuntutan mereka.
"Saya sudah 12 tahun menjadi honorer di RSUD dengan upah yang tidak layak. Mohon pemerintah mempertimbangkan tuntutan kami,"ucapnya dengan nada sedih.
Lebih dekat dengan Tribun Timur, subscribe channel YouTube kami:
Follow juga akun instagram official kami:
ii