Refleksi Ramadan
REFLEKSI RAMADAN (7): Ketika Ceramah Tarawih Anregurutta Belum Bisa Diunduh dari Internet
Pada anregurutta, umat juga minta doa kesembuhan, kesuksesan dalam urusan jodoh, bisnis dan politik, bahkan ilmu kekebalan.
Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama UINAM
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Saya biasa membandingkan suasana Ramadan di masa kecil dulu di kampung dengan suasana Ramadan di kota saat ini.
Secara subyektif, ada banyak kenangan indah di moment seperti itu yang agaknya tak lagi bisa dirasakan anak-anak saat ini.
Satu hal yang masih tajam teringat adalah kehadiran rutin sosok ulama karismatik mengisi ceramah Ramadan di masjid-masjid kampung.
Di zaman now, peran atau profesi sebagai mubalig bisa digeluti oleh hampir siapa saja: guru, dosen, insinyur, dokter, artis, mantan artis, dan sebagainya. Di zaman old, mubalig umumnya hadir dalam sosok ulama (kiai) atau, dalam masyarakat Bugis, disebut “anregurutta”.
Sosok anregurutta biasanya menguasai satu atau lebih bidang pengetahuan agama seperti ushul fiqih, kalam, tafsir, hadis atau tasawuf. Untuk itu, mereka harus berguru beberapa tahun pada banyak ulama di sejumlah lembaga pendidikan agama.
Selain berpengetahuan agama yang luas, anregurutta juga dikenal tekun beribadah, hidup sederhana dan ikhlas membina umat.
Ringkasnya, mereka memenuhi tiga persyaratan utama sebagai ulama: ilmu, akhlak dan amal. Jadi, pengetahuan agamanya (ilmu) dimanifestasikan dalam dirinya (akhlak) kemudian diajarkan kepada orang lain (amal), baik dengan berdakwah maupun mendirikan lembaga pendidikan.
Umat percaya pada karisma atau aura spiritual yang memancar dari diri anregurutta, atau pada karamah (keajaiban) mereka.
Pada anregurutta, umat bukan hanya bertanya soal agama, tapi juga minta doa kesembuhan dari segala penyakit, kesuksesan dalam urusan jodoh, bisnis dan politik, bahkan ilmu kesaktian/kekebalan.
Sebelum berceramah, anregurutta tak butuh persiapan waktu menyusun konsep atau outline ceramah. Sebab, apa yang diceramahkan adalah bagian integral dari karakter atau dirinya. Tema dan isi ceramahnya pun tidak berdasarkan pesanan atau kegemaran jamaah tapi pada apa yang anregurutta anggap sesuai keadaan jamaah terkait.
Seringkali, anregurutta berceramah seraya membaca dan menjelaskan satu kitab tebal (dalam bahasa Arab) hingga tamat (mappangaji kitta). Jadi, tema dan isi ceramah selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Di masa itu, materi ceramah belum dapat di-google, diunduh dari Internet lalu disimpan dalam gawai canggih. Jangankan internet, jaringan telepon rumah saja belum ada.
Kini, praktis hampir semua konten ceramah para mubalig tentang Ramadan dapat diunduh dari Internet, atau berseliweran di WA, Facebook dan media sosial lainnya.
Anregurutta tidak berharap imbalan material dari ceramahnya, apalagi pasang tarif. Jika diundang berceramah, pertanyaan pertamanya bukan “di mana” (masjid besar atau kecil?), tapi kapan (siapa tahu sudah ada janji dengan yang lain).