Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mabes Polri Sebut Isu SARA Masih Jadi Jualan saat Pilkada

Institut Komunikasi Nasional menggelar Diskusi Media Pilkada Tanpa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)

Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Anita Kusuma Wardana
MUH HASIM
Institut Komunikasi Nasional menggelar Diskusi Media Pilkada Tanpa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) di Country Coffee dan Resto (CCR), Jl Toddopuli Raya, Makassar, Sulsel, Selasa (8/5/2018). 

Laporan Wartawan Tribun Timur, Hasim Arfah

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR-Institut Komunikasi Nasional menggelar Diskusi Media Pilkada Tanpa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) di Country Coffee dan Resto (CCR), Jl Toddopuli Raya, Makassar, Sulsel, Selasa (8/5/2018).

Hadir Direktur Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri Brigjen (Pol) Fadil Imran, jubir NH-Aziz Muhammad Natsir, Jubir Agus-TBL Andre Arief Bulu, Jubir NA-ASS Haeruddin Nurman, dan Jubir IYL-Cakka Henny Handayani.

Selain itu hadir juga, Jurnalis Kompas Reny, jurnalis senior Rudi P, PD II Fakultas Sospol Unismuh Makassar Luhur A Prianto, dan budayawan Asmin Amin.

Brigjen Fadil mengatakan SARA adalah sebuah turunan dari identitas sosial.

"Kita semua punya identitas sosial, di beberapa negara orientasi seksual bisa menjadi polarisasi. Mengapa SARA digunakan karena rasionalitas seseorang cenderung punya keterbatasan. Ketika isu tentang agama ditiupkan maka terkadang kita cepat percaya," kata mantan Direktur Cyber Mabes Polri ini.

Sehingga, dia menganggap alasannya menjadi digunakan saat Pilkada.

"Beberapa negara Eropa, Asia dan bahkan Amerika yang maju sekalipun sering menggunakan isu itu. Ini masih menjadi jualan dalam kontestasi," katanya.

Ia mengatakan indeks SARA masih berada di 60 persen.

"Itulah, sehingga masyarakat kita cenderung percaya hoax, munculnya dalam isu SARA muncul pada tahun 80-an. Dulu itu digunakan dalam perang," katanya.

Ia mengatakan hoax itu terbagi menjadi hate speech (ujaran kebencian) fitnah dan berita bohong.

"Ujaran kebencian itu sudah masuk UU KUHP, kita jauh lebih maju ketimbang Malaysia. Hoax cenderung digunakan untuk merusak reputasi," katanya.

Ia juga mengajak media sosial menjadi pilihan untuk menyebar sentimen SARA.

"Persoalan sekarang ini fenomena penuh banyak di media sosial, ditambah ada citizen jounalism. Kalau lurus saja tidak apa-apa tapi banyak berita yang dibentuk dalam bentuk hate speech. Contoh kemarin beredar film dan video tentang kasus Rohingya, setelah kita mencari di Google itu adalah kasus kebakaran saat nobar piala dunia," katanya.

"Ini menjadi tantangan untuk menjadi teman-teman di media mainstream. Fake news atau berita palsu itu disamarkan ke dalam media mainstream," katanya.

Ia menjelaskan fake news banyak disebarkan melalui Facebook, Twitter dan Instagram.

"Tapi, saat ini banyak melalui YouTube," katanya.

Ia juga memastikan isu SARA di Sulsel sudah mulai redup karena keempat calon gubernur. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved